Kalau boleh jujur, saya bukan tipikal orang yang hobi nonton film. Karena alesan itu lah yang menjadikan saya selektif banget disaat memilih film yang mau ditonton. Apalagi nih, buat film-film Indonesia, keknya nggak sampai ekspetasi yang tinggi deh buat narik saya jadi rajin ke bioskop.
Contohnya disaat dulu keluar film Love for Sale yang pertama, yang saya tonton cuma dari hasil tuker-tukeran film di flashdisk bareng temen. Kukira ya film ini sebatas film cinta-cintaan yang mudah ketebak alurnya. Drama Indonesia itu klise, bermodal cinta-cintaan ala para remaja, dan plotnya mudah banget buat kita tebak. Alesan itu saya pegang banget sampai pada akhirnya seakan disadarin kalau pernyataan itu salah ketika melihat cerita si Arini dan Richard.
Detik dimana film ini selesai bener-bener berbekas di benak saya, bahwa Love for Sale menjadi salah satu film Indonesia yang mengambil hati saya. Ceritanya indah, emosinya benar-benar terasa, desain karakternya apik, plot ceritanya sederhana tapi ciamik. Semua elemen cerita saling bersinergi, membuat satu kesatuan cerita yang berkualitas langka. Saya mendapatkan satu rasa baru, satu emosi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya sekaligus membuat saya tersenyum haru.
Dan sekarang, saya tidak mau salah langkah. Saya ingin merasakan sensasi rasa dan emosi itu lagi dengan menjadi salah satu dari yang paling pertama menonton sekuel Love for Sale 2. Lantas setelah menonton film sekuel ini, apakah saya kembali merasakan hal yang sama? Ya, 100% iya. Dan nggak cuma itu, saya juga mendapatkan jauh lebih banyak melebihi ekspektasi yang sejak awal saya miliki.
Love for Sale 2
Dari sekilas trailer Love for Sale 2, film kali ini jelas menghadirkan tema yang berbeda dari film yang pertama. Jika film pertama bertema romansa, kali ini sang sutradara mengusung keluarga sebagai tema utamanya. Tepatnya keluarga Sikumbang, sebuah keluarga berdarah Minang yang tinggal di daerah Jakarta. Keluarga ini punya 4 anggota, yaitu Mamah Rosmaida, Indra Tauhid Sikumbang alias Ican, Anandoyo Tauhid Sikumbang alias Ndoy, dan Yunus Tauhid Sikumbang alias Buncun. Semua karakter masing-masing punya cerita yang saling berkaitan dan saling berkesinambungan satu sama lain.
Dan sutradara Andibacthiar Yusuf berhasil mengusung tema keluarga ini dengan cantik, apik dan ciamik. Dia berhasil memperlihatkan cerita satu keluarga secara natural dan penuh konflik, tanpa terasa cringe sama sekali dan bisa dirasakan langsung oleh penontonnya.
Semuanya dibuat dengan sederhana, tapi terlihat begitu detail dan terasa begitu hangat. Sepanjang film, kita juga mendengar banyak ragam ambience sound yang sering kita dengar saat berada di rumah, mulai dari suara orang jualan, suara motor lewat, suara anak kecil bermain di jalanan depan rumah, hingga suara azan dari masjid terdekat.
Hasilnya, sudah jelas. Penonton akan benar-benar yakin dan punya koneksi emosi yang kuat dengan karakter-karakter yang ada di film ini. Pesan dan tema keluarga yang diusung pun nantinya bisa tersampaikan dengan optimal, terasa begitu emosional hingga tidak sedikit yang tidak bisa menahan air mata.
Ngomongin Love for Sale berarti ngomongin misteri, yang mungkin jadi salah satu alasan utama kenapa film Love for Sale begitu ditunggu oleh penggemarnya. Arini yang adaptif jadi sosok yang adiktif. Ketergantungan Ican dan keluarganya kepada Arini inilah yang jadi bom waktu. Sebagai pacar sewaan, Arini terbilang profesional. Dia bisa masuk ke kehidupan kliennya secara halus. Ucapannya penuh soft selling. Namun, Arini tetaplah seorang karyawan Love, Inc.
Arini seharusnya bisa nih dikasih reward sebagai pekerja yang sangat professional. Soalnya Arini tetap akan pergi setelah masa sewanya habis. Ketika kliennya baper, maka perasaan kehilangan adalah sebuah keniscayaan.
Penasaran kan, jadi kapan nih mau nonton film ini?
Penulis : Nadhifah A.
Ilustrator : Ni’mal Maula
Comments