Pertengahan November lalu film Ainu Mosir dirilis, salah satu referensi fiksi tentang suku Ainu masa kini yang sebenarnya telah lama saya tunggu setelah kenyang dengan setting anime Golden Kamuy season satu (2018), dua (2018), dan tiga (2020) yang berkutat pada periode pasca perang Soviet-Jepang. Dua rekomendasi tontonan ini sebenarnya bisa jadi panduan ringan dalam memahami ruwetnya hubungan Indonesia dengan Papua, lepas dari perbedaan latar belakang sejarah Indonesia dan Jepang.

Persamaan Suku Ainu dan Suku Papua

Banyak persamaan yang bisa jadi padanan. Misalnya soal akar budaya dan cara hidup, serta tentu saja etnis penduduk setempat. Bukan bermaksud bersikap rasis, tetapi untuk menerima perbedaan, terlebih dahulu kita mesti mengakui perbedaan itu. Faktanya, mayoritas etnis Indonesia berbeda dengan etnis Papua, dan saya tidak mengisyaratkan bahwa berbeda itu buruk. Perbedaan bisa jadi indah, konstruktif, dan produktif tergantung dengan bagaimana cara kita menyikapinya.

Suku Ainu juga memiliki warna kulit yang berbeda dari warga Jepang kebanyakan. Meskipun dengan iklim dan cuaca dingin yang ada, perbedaan itu tidak cukup kentara kalau hanya dilihat warna kulitnya. Perbedaan yang dapat dilihat secara signifikan dan mencolok misalnya pada bentuk muka, struktur wajah, dan mata. Dibandingkan etnis Jepang kebanyakan, orang Ainu asli memiliki wajah yang cenderung lebih kotak dan mata yang lebih lebar.

Buat kalian yang baru sekali ini mendengar tentang suku Ainu, secara sederhana dapat dipahami bahwa orang Ainu adalah suku asli yang mendiami wilayah pulau Hokkaido, pulau paling ujung utara Jepang. Jika dirunut pada asalnya, suku Ainu ini adalah bangsa nomaden yang tersebar hingga kawasan Sakhalin di ujung tenggara Rusia. Oleh karenanya, ketimbang disebut orang Jepang, suku Ainu bisa dikatakan lebih mirip orang Rusia atau Mongolia.

Dalam anime Golden Kamuy, diceritakan secara detil beragam budaya dan cara bertahan hidup berburu di alam liar. Suku Ainu berpegang teguh pada agama mereka sendiri, yang kurang lebih dapat digolongkan sebagai animisme sekaligus dinamisme. Terutama tentang adanya dewa atau Tuhan yang mendiami setiap benda alam, baik hidup seperti hewan, atau tak hidup seperti air dan api. Kepercayaan inilah yang sama dengan budaya awal orang Papua sebelum masuknya Kristen atau Islam.

Mereka hidup bersamaan dan saling merawat hutan beserta isinya, bisa dikatakan tidak jauh beda dengan suku Papua asli. Persamaan lainnya, suku Ainu pada awalnya tidak memiliki bahasa tulisan, jadi, dahulu cara berkomunikasi antar orang Ainu hanyalah menggunakan bahasa verbal. Kesamaan serupa juga ada di Papua yang dikatakan memiliki 270 lebih bahasa lokal yang saling berbeda antar kelompok suku. Potensi budaya yang sangat kaya sebenarnya, apabila ditekuni dalam tujuan keterampilan polyglot.

Menyikapi Ruwetnya Persoalan Papua Lewat Film Karya Golden Kamuy

Dalam film Ainu Mosir, benturan identitas remaja Ainu digambarkan secara apik dengan solusi yang elegan, pada akhirnya kita semua secara individu diberikan hak untuk menentukan hidup kita sendiri. Kanto, tokoh remaja utama dalam film tersebut mengalami pergolakan batin yang luar biasa. Salah satunya tentang penggunaan alat musik khas Ainu yang serupa kacapi Sunda, dalam band musik modern miliknya. 

Atau benturan ritual budaya yang lebih mendasar lagi, yakni tentang pengorbanan beruang yang telah turut ia beri makan selama beberapa waktu. Kepercayaan Ainu menganggap bahwa setiap dewa bersemayam dalam tubuh binatang, tidak terkecuali beruang. Untuk melepaskan dewa tersebut ke alam bebas, orang Ainu percaya ritual Iomante harus dilakukan. Lomante adalah ritual membesarkan bayi beruang selama dua tahun kemudian dikorbankan dalam sebuah upacara adat.

Pada tahun 1955, Iomante sempat dilarang dengan dalih melanggar animal welfare, namun tahun 2007 diperbolehkan kembali sebagai pengecualian. Selain itu, demi menyebarkan informasi dan mempromosikan budaya suku Ainu, New Ainu Policy diresmikan tahun 2019 yang lalu. Salah satu implementasinya dengan pembukaan National Ainu Museum and Park yang telah dibuka pada musim semi 2020 lalu.

Film ini bisa jadi referensi mengatasi ruwetnya persoalan di Papua. Cara promosi yang sama pada orang Papua seharusnya bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia, bukan hanya membuka keran beasiswa pendidikan khusus dan modernisasi fasilitas umum. Seharusnya, pendidikan juga merupakan pilihan yang sama nilainya dengan opsi meneruskan kehidupan budaya asli pedalaman Papua. Barangkali, pembukaan pusat wisata yang secara serius dan tulus mempromosikan Papua, bisa jadi cara berdamai paling aman dalam mencegah pemberontakan.

Pasalnya, dalam anime Golden Kamuy, bahan bakar harta karun berupa emas Ainu adalah modal yang cukup untuk mengobarkan semangat pemberontakan seluruh suku Ainu merebut kembali wilayah Hokkaido dari kekuasaan Jepang. Dan sungguh kebetulan yang mengerikan bahwa di Papua jugalah terdapat gunungan emas yang sejak lama diperebutkan berbagai kepentingan dalam dan luar negeri. Mari berharap bersama, perang dan senjata tidak akan menjadi pemenangnya.

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: The New York Times