Nadin Amizah sering sekali menjadi trending. Salah satu konten yang pernah jadi buah bibir netizen adalah isi postingan Nadin berisi empat foto dengan outfit korset berbalut cardigan, latar cahaya dari jendela, dan wajah multiekspresi dilengkapi caption: your mentally unstable girlfriend. Postingan tersebut telah di-reply hampir 700 kali, retweets atau quote tweets lebih dari 1000 kali, dan likes atau loves hingga melampaui hitungan 15000 kali.

Netizen terbelah, ada yang menuduh Nadin Amizah nggak peka karena meromantisasi kondisi mental yang tidak stabil. Namun, lebih banyak yang mendukung Nadin dan berpendapat kalau tidak ada yang tahu betul bagaimana perjuangan masing-masing dalam melawan mental illness.

Setelah kerja sama dengan Dipha, Nadin lebih banyak dikenal di kalangan musik indie atau jazz. Menggubah dan mengolah musiknya sendiri lewat nada sendu dan lirik kaya tafsir, Nadin memperkenalkan diri dengan impresi yang berbeda 180 derajat dari lagu All Good.

Lagu-lagu Nadin, seperti rumpang, sorai, bertaut, dan seperti tulang seolah berteriak dengan galak tentang kesendirian, perpisahan, dan ketidakberuntungan. Justru di sinilah urgensi Nadin bagi keberlangsungan hidup negara kita, isu mental illness dan mentally unstable millenials perlu dibicarakan secara serius. Kalau perlu bahkan harus didedah dan dibedah di atas meja makan.

Meja Makan dan Food Insecurity

Semua masalah bisa diselesaikan di meja makan, terutama di kalangan masyarakat Indonesia yang sangat komunal. Angkringan jadi saksi perkembangan informasi dan pendewasaan di kalangan bawah, sementara coffee shop sekedar bukti versi yang lebih elit milik kalangan atas saja. Banyak yang bisa dibicarakan di meja makan, tetapi hanya sedikit yang sadar bahwa mentall illness juga bisa bermula dari meja makan, perkara food insecurity.

Anak muda kelahiran 2000-an tidak akan paham tentang food insecurity. Mereka hanya suka gembar-gembor kerap insecure soal tampang, tinggi badan, atau tumpukan lemak pada lengan. Generasi 90-an lah yang sebagian besar merasakan kegetiran pra dan pasca reformasi, musnahnya tabungan keluarga dan warisan, hingga ketiadaan pangan: food insecurity.

Food insecurity (FI) adalah keadaan yang kompleks, bukan hanya tentang tidak terjaminnya ketersediaan makanan, tetapi juga tentang ketakterjangkauan atau harga beli bahan makanan yang melambung, hingga norma budaya yang berlaku tentang makanan. Menurut penelitian tiga tahun lalu, FI di negara-negara kawasan Asia Tenggara bervariasi antara 8,1-20,3%.

Singkatnya, angka tersebut menunjukkan bahwa sekitar seperlima dari seluruh penduduk Asia Tenggara merasa bahwa kebutuhan pangannya tidak aman, termasuk Indonesia. Tentu saja FI berhubungan dengan keadaan mentally unstable. Dimulai dari permasalahan keluarga, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian, merembet pada ketidakpekaan fungsi sosial seperti minimnya bantuan dan kesempatan. Bermuara pada ambruknya pilar moral hingga lahirnya kriminalitas struktural.

Belajar dari Nadin Amizah

Mungkin komplikasi mental illness bangsa ini rasanya nggak tepat kalau dibebankan pada gadis 20 tahun seusia Nadin. Meskipun demikian, dari trending-nya Nadin kita dibuat kembali mengingat bahwa sebenarnya sejarah panjang ketidakwarasan mental sudah melesap dan meresap sejak awal muasal kelas-kelas sosial.

Kelas pekerja di kalangan bawah insecure soal gaji, mencerabut dan mencabut keberanian untuk menikah, implikasinya status jomblo dirayakan secara meriah. Sementara, kalangan “papan atas” malah gundah milih cuci mulutdi Namaaz Dining atau Ruth’s Chris. Semua masalah memang bisa diselesaikan di meja makan, tetapi pada meja yang berbeda.

Coping mechanism putra-putri desa yang merantau ke kota impian demi pendidikan dan keilmuan dilatih di atas meja-meja angkringan dan burjo/warmindo asal Kuningan. Mereka akan tumbuh menjadi kelas pekerja yang tangguh, perlahan merangkak tumbuh dan kukuh dalam tingkatan kasta sosial kekinian. Mental illness telah mereka tinggalkan bersama memori kemelaratan masa sekolah.

Sementara, usaha muda-mudi urban justru dilakukan sama sekali berbeda, mengekspresikan ketidakstabilan mental di ruang-ruang virtual. Mendemontrasikan kata dan frasa bijak demi mendulang pengakuan. Terpengaruh dan justru tambah keruh oleh kontestasi 140 karakter tulisan. Terlena pada afeksi tehadap meja makan di dalam kamar kesendirian. Ditemani dan dimanjakan jasa food delivery pilihan.

Tidak ada yang salah pada semua pilihan yang diputuskan kedua kalangan, masalahnya akan muncul kemudian jika disebarkan dengan gegap gempita benih-benih ketidakpedulian. Perhatikan kanan-kiri sepanjang perlajanan pulang dari kampus atau kantor. Hitung teliti jumlah homeless dan pengamen di setiap persimpangan lampu merah.

Berhenti sejenak dan perhatikan, kalangan bawah tidak memiliki privilege untuk mendiskusikan mental illness. Akan tetapi, kita bisa menjadi meja makan yang menyelesaikan masalah mereka untuk hari ini saja. Mampir di rumah makan Padang seberang jalan, bungkus secukupnya, dan berikan dengan senyuman. Barangkali dari situ bisa kita tahu betapa mudahnya menyelesaikan kegalauan mental: beri makan, jadi meja makan.

Editor: Nirwansyah

Gambar: Prambors FM