Di zaman yang serba canggih ini, kita hidup di dua dunia: nyata dan maya. Media sosial seperti Instagram, YouTube dan lainnya adalah dunia maya kita. Alam yang berbeda dengan alam nyata kita. Sekeras apapun kita ingin menyamakannya dengan dunia nyata, juga tak akan bisa.
Kadang kita tau, bahwa ketika orang mengenal kita di dunia maya, belum tentu orang mengenal dan tau benar siapa kita di dunia nyata. Namun beberapa orang menyamakannya dan nyaman dengan hal itu. Ketika menganggap dua dunia itu sama, maka kita juga akan berpendapat seperti itu terhadap orang lain, yakni hidup nyata mereka kita samakan dengan melihat media sosialnya.
Hidup di Dua Dunia
Kita bisa saja mengenal orang hanya di media sosial, namun tidak tau bagaimana sebenarnya orang itu. Hati-hati saja, dengan bersikap seperti ini kita bisa saja tertipu. Percayalah, orang hanya akan menampilkan apa yang ingin dia tampilkan.
Banyak orang yang membranding diri dengan memperlihatkan sisi baiknya dan menyembunyikan kejelekannya di dunia maya (Kecuali beberapa orang yang memang sengaja menampilkan semua sisi dirinya). Ketika kita sudah menyadari hal itu, sudah selayaknya kita mampu menyaring, mana yang nyata dan mana yang maya. Tidak selalu sama.
Ketika niatmu berselancar di dunia maya memang menampilkan dirimu yang sesungguhnya ya tidak mengapa. Sah sah saja kok. Ketika niatmu membranding dirimu lebih baik, juga tidak ada yang salah, sah sah saja. Karena baik di dunia nyata maupun maya, semua berhak mengekspresikan diri.
Namun, tidak semua orang mengenalmu secara mendalam. Mereka tidak tau maksud dirimu, mereka tidak tau niatmu berselancar di dunia maya ini. Orang menilai sesuatu dari apa yang mereka lihat. Istilah “Don’t jugde a book by its cover” muncul karena banyaknya orang menilai sesuatu hanya dari luarnya saja.
Kalo semua orang menilai sesuatu secara menyeluruh, tidak mungkin ada kalimat itu, bukan? Sama seperti kalimat “Jangan membuang sampah sembarangan”. Kalimat itu muncul karena orang-orang membuang sampah sembarangan, kan?
Komentar Tanpa Aturan
Nah, karena orang-orang tidak tau maksudmu, mereka tidak tau niatmu. Banyak orang tidak mengenal dirimu secara mendalam, ditambah lagi mereka juga tidak peduli dan tidak mau mengenalmu secara mendalam. Wajar saja mereka punya penilaian sendiri. Dan itu ngga salah, setiap orang berhak menilai. Apalagi media sosial menyediakan kolom komentar untuk menyampaikan penilaiannya.
Penilaian orang tentu tidak selalu sama dengan penilaianmu. Karena dia tidak sedang di posisimu, karena dia tidak mengenalmu. Dan ingatlah, ketika kamu sudah mengunggah sesuatu, unggahanmu tadi akan menjadi milik publik. Orang bisa dengan bebas berkomentar.
Lewat jari jari para komentator di dunia maya itulah muncul komentar tentang apa yang kamu posting. Tentu saja, tidak semua orang peduli dengan unggahanmu. Ada yang mengabaikannya, atau sekedar meninggalkan like saja. Tapi tetap ada saja yang berkomentar.
Tidak mungkin kamu mengontrol apa yang orang lain pikirkan tentang dirimu, ini berlaku di dunia nyata atau maya. Kamu tidak mungkin bisa mengontrol penilaian orang tentangmu.
Komentar yang muncul dari jari jari itu, jangan sering-sering dimasukkan ke hati, nanti sakit hatimu. Komentar asal komentar, sekenanya aja. Kadang positif, membangun dan membuatmu bersemangat. Namun kadang juga negatif, menjatuhkan dan membuatmu stres sampai depresi atas cacian yang datang kepadamu.
Efek yang kamu rasakan tergantung dari bagaimana kamu menyikapinya. Kalau kamu berkeyakinan bahwa itu hak orang untuk berkomentar. Komentar positif akan jadi sumber semangat. Komentar negatif jadi ajang muhasabah untuk membuatmu lebih baik. Sikap itu akan membuatmu baik baik saja.
Tetap semangat, tetap ceria, terus berkarya. Memang, tak mungkin membuat setiap orang di sekitarmu senang dan bahagia. Dan ingat bahwa setiap orang punya kemungkinan untuk melakukan kesalahan. Namun yang terpenting, kamu tetap memperbaikinya.
Kamu mungkin belum baik, namun lebih baik kamu tetap mencoba menjadi orang yang lebih baik lagi ketimbang diam meratapi keadaan.
Penulis: Ananul Nahari Hayunah
Penyunting: Aunillah Ahmad
Comments