Bulan Ramadan hampir usai, tentu kita tak akan sulit menemukan kalimat di beranda media sosial atau status di aplikasi pesan instan yang bernada kurang lebih seperti ini: “Selamat jalan Ramadan, semoga kita bisa dipertemukan di bulan Ramadan selanjutnya, kami akan merindukanmu“. Lantas, apa yang telah mereka lakukan selama Ramadan, sehingga meninggalkan kesan begitu melankolis di hati mereka.
Mungkin wajar perpisahan dengan Ramadan dirayakan sedemikian rupa, soalnya bulan berkah ini hanya datang sekali setahun. Layaknya pasangan yang menjalani hubungan Long Distance Relationship (LDR), hampir setahun tak berjumpa, pas ketemu, tak kerasa udah pisah lagi. Pasti sedih banget.
Memang sekilas jika dipikir-pikir, umat muslim yang menjalani puasa di bulan Ramadan, bisa dianalogikan seperti sepasang kekasih yang sedang menjalani hubungan LDR. Dalam hubungan LDR, pertemuan adalah usaha untuk menyegarkan kembali kepercayaan dan komitmen. Sedangkan dalam Ramadan, pertemuan adalah usaha untuk menyegarkan kembali iman dan ketakwaan.
Selain itu, di dalam hubungan LDR jarak merupakan ujian berat bagi sepasang kekasih karena kualitas kesetiaan mereka akan betul-betul diuji: rentan membuat pasangan saling nggak percaya satu sama lain, juga rentan perselingkuhan. Jadi, hanya pasangan yang betul-betul memiliki kualitas kepercayaan dan komitmen paripurna, mampu melewati hubungan semacam ini.
Layaknya hubungan LDR, umat muslim, yang telah sebulan penuh membangun komitmen beribadah, juga akan kembali diuji setelah berjarak (atau melewati) bulan Ramadan. Masa yang rentan dengan perselingkuhan terhadap kebatilan dan perbuatan dosa. Maka, hanya orang yang memiliki kualitas ketakwaan yang baik, yang bisa melalui ujian itu, sampai saat dipertemukan kembali dengan bulan Ramadan selanjutnya.
Memang, saat membangun komitmen beribadah, kita benar-benar ditempa dengan sedemikian rupa. Selain menahan lapar dan dahaga, kita juga didorong untuk melatih beberapa bagian tubuh yang rawan menggeser ketakwaan menjadi kemaksiatan lewat iming pahala berlipat ganda.
Mulut misalnya, di dalam bulan Ramadan umat islam dilatih agar menjaga lisan yang baik karena dengan berbohong atau mengumpat bisa mengurangi kualitas puasa. Di sisi lain, dengan ganjaran pahala berlipat ganda umat islam yang jarang menggunakan lisannya membaca Al-Quran, akan terdorong untuk menghabiskan waktu bersama Al-Quran. Nilai amalan membaca Al-Quran telah dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Tirmidzi:
“Siapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan. Semisalnya dan aku tidak mengatakan “alif lam mim” satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf, dan Miim satu huruf”. (HR Tirmidzi).
Membaca Al-Quran di bulan Ramadan, tentu memberi banyak keuntungan. Selain Mulut, di dalam bulan Ramadan, tangan kita juga dilatih agar tak merampas sesuatu yang bukan hak kita. Dan bagi umat islam yang jarang bersedakah, karena ganjaran amalan yang berlipat ganda, yang ditawarkan bulan Ramadan maka, akan terdorong untuk semakin memperbanyak sedekah. Bukan hanya mulut dan tangan yang dilatih tapi juga anggota tubuh lain seperti: mata, kaki, telinga, juga kemaluan.
Pertemuan dengan Ramadan betul-betul merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas ketakwaan, sebelum akhirnya dihadapkan pada ujian yang sebenarnya. Seperti yang dijelaskan dalam salah satu ayat, yang sudah template kita dengar selama bulan Ramadan:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-baqarah:183)
Nah, segala janji pahala yang berlipat ganda, adalah sebuah pemantik agar umat muslim terdorong senantiasa menghabiskan waktunya beribadah. Tujuannya agar rutinitas ini bisa terinternalisasi dan menjadi kebiasaan, atau yang oleh Pierre Bourdieu sebut sebagai Habitus. Kebiasaan beribadah, diharapkan mampu meningkatkan ketakwaan, agar bisa menjadi bekal selama mengarungi kehidupan, sebelum akhirnya dipertemukan kembali dengan Ramadan selanjutnya.
Jika, selepas Ramadan, kita bisa menjaga: perilaku, lisan, dan sikap sama seperti saat ramadan. Maka, ini merupakan indikasi bahwa proses internalisasi ibadah yang kita lakukan, berhasil mencetak kita sebagai pribadi yang bertakwa.
Namum sebaliknya, jika berlalunya Ramadan sikap kita belum mencermikan gambaran seorang muslim yang baik: gemar menyakiti perasaan orang lain dengan lisan, mengambi hak orang lain, atau malah semakin merosotnya kualitas ibadah kita. Maka, hal itu bisa jadi indikasi jika kita gagal memanfaatkan bulan Ramadan sebagai pemantik spirit beribadah.
Jadi, Ramadan itu mirip-mirip hubungan LDR, pertemuan adalah bekal untuk menghadapi ujian yang sesungguhnya.
Comments