Status dan story di media sosial adalah suatu yang lumrah ditemui di era 4.0 ini. Fitur ini bisa di temui di Facebook, Instagram, WhatsApp dan media lainnya. Ada orang yang hanya memposting informasi penting saja, ada juga yang kontennya adalah laporan kegiatan sehari-hari. Saking tak lepasnya seorang dari media sosial, postingan di medsos pun jadi indikator penting untuk menilai seseorang.
Padahal, penilaian seseorang dari postingan medsosnya tidaklah akurat karena ada banyak faktor yang mempengaruhi postingan tersebut. Karena itu, postingan seseorang di media sosialnya bukanlah representasi yang utuh dari kepribadian orang tersebut.
Ada perbedaan cara memfungsikan media sosial antara satu orang dengan yang lain. Dua orang yang mungkin sebenarnya punya pola hidup yang sama, akan terlihat berbeda karena cara memfungsikan sosial media mereka berbeda. Ada orang yang menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyampaikan opini dan pemikirannya. Tentu isi postingannya akan banyak diisi komentar-komentar terhadap suatu isu atau masalah. Berbeda lagi dengan orang yang memkai media sosial sebagai sarana refreshing, postingannya sudah pasti hal-hal ringan dan relaxing. Dari sinilah saya berangkat pada pendapat bahwa sosial media bukanlah representasi murni dari karakter orang tersebut.
Sosial media juga tidak lepas dari tren yang sedang berlaku di suatu waktu atau daerah tertentu. Apa yang diposting seseorang tidak lepas dari postingan lain yang dilihatnya. Contohnya saja tren “hijrah” yang sedang naik daun. Banyak sekali kemudian remaja yang story-nya berisi tentang quote–quote hijrah, baik itu yang dia bikin sendiri atau hanya repost dari akun lain.
Padahal kita tidak mengatakan seseorang “alim” atau “sholeh” hanya karena postingannya yang islami. Bisa jadi, postingan itu bukan menunjukkan dirinya, melainkan sedang mengikuti saja tren yang ada. Suatu tren tidak akan berlangsung lama, begitupun postingan di medsos yang tentunya tidak cukup untuk menggambarkan pribadi seseorang.
Hati-hati dalam menilai, hati-hati dalam memposting
Kita cenderung untuk mengabaikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi tindakan seseorang. Dalam psikologi kecenderungan ini disebut dengan Fundamental Attribution Error. Walaupun kita tau bahwa seorang memposting sesuatu yang terlihat agamis hanya karena mengikuti tren yang sedang ada, kita tetap “mengatribusikan” storinya tersebut kepada dirinya. Bukan kepada tren. Akhirnya, kita turut beranggapan bahwasanya dia orang yang persis dengan apa yang ditampilkannya lewat isi postingannya.
Kehati-hatian dalam bermedia sosial adalah hal penting supaya kita tidak tertipu dan tidak menipu. Sudah berapa banyak terjadi penipuan yang berawal dari media sosial, baik penipuan berorientasi komersial juga asmara? Orang yang lalai mudah mempercayai hanya dari postingan media sosialnya saja. Jangan terlena hanya karena postingannya bijak, penyesalan dan kekecewaan berawal dari salah menilai.
Selain hati-hati dalam menilai seseorang di media sosial, tolong berpikir dua kali sebelum update status. Setiap orang pastinya berkeinginan untuk menampilkan hal-hal baik dari dirinya, dan berusaha menyembunyikan keburukannya. Tetapi yang paling bahaya adalah, tidak hanya menipu orang lain, melainkan secara tidak sadar kita juga sedang menipu diri sendiri saat mencoba mencitrakan apa yang sebenarnya bukan benar-benar gambaran diri kita.
Don’t judge the book by its cover, don’t judge someone by his stories.
Comments