Hari itu langit terlihat cerah, udara pagi menyusupi kota Jogja, lengkap dengan kabut-kabut tipis yang dingin, membuat orang-orang yang baru saja bangun enggan untuk meninggalkan tempat tidurnya. Saat itu aku masih kelas dua SD, tepat 14 tahun yang lalu, baru saja aku mandi, mengemas barang-barang secara rapi karena pada hari itu aku sangat bergembira, aku akan pergi outbond dengan teman sekolahku.

Atmosfir kebahagiaan memelukku pagi itu, orang tuaku juga terlihat riang, entah seperti tidak ada beban apapun. Aku berpikir bahwa hari itu adalah hari yang bahagia.

Hatiku sangat riang, jiwaku bersemangat, sampai pukul enam pagi, saat Jogja diguncang gempa bumi, 5,9 skala Richter, cukup kuat untuk meratakan rumah-rumah penduduk desa yang sebagian besar masih dibangun dengan bambu. Aku tersentak, kaget, panik, tak tau arah. Semuanya berguncang. Tembok raksasa, pembatas antara rumahku dan pabrik sebelah ambruk, ambyar, jatuh ke tanah, pecah. Atap-atap rumahku jebol, berjatuhan, mengotori lantai keramik. Satu keluarga panik, berduyun-duyun berlari keluar, menyelamatkan diri.

Bumi selesai berguncang. Menyisakan puing-puing bangunan, tangisan, dan ketakutan. Beruntung, keluargaku selamat, rumahku masih berdiri tegak. Hari itu, saat semua orang keluar rumah, semuanya saling bercerita, berbagi kepanikan, dengan badan yang gemetaran dan mulut yang basah dipenuhi dzikir. Aliran listrik mati seketika, TV, radio, bahkan ponsel pun tidak bisa digunakan. Tak ada yang bisa dihubungi, bahkan keluargaku yang berada di Madiun belum tau kejadian ini, komunikasi terputus, hari itu kami bertanggung jawab atas nyawa masing-masing, dan juga mereka yang tersayang.

Hari itu, tidak semua cerita adalah kesedihan, kami sempat tertawa, saat mendengar cerita bahwa ada tetangga yang keluar rumah tanpa sehelai benang pun, ada juga yang tertinggal di dalam rumah, masih terlelap dan bertanya-tanya kebingungan. Tidak semua bencana harus berakhir dengan kesedihan; canda dan kebahagiaan selalu memiliki celah di setiap kesedihan, aku percaya itu.

Baru saja kami mengalami kepanikan yang luar biasa, belum lagi rasa panik yang menular dari orang lain, kondisi bangunan-bangunan yang rapuh dan siap runtuh, serta kabar burung akan adanya gempa susulan dan tsunami. Hari itu aku, kami dan semua warga Jogja merasa dekat sekali dengan Tuhan.

“TSUNAMII! Semuanya lari!”

Seorang warga berteriak. Dari arah selatan, berduyun-duyun, bergerombol, ramai sekali, orang-orang berdatangan dengan kendaraan mereka. Suara deruan mesin meningkatkan adrenalin, membuat kami semakin panik. Aku, adikku yang masih TK, dan paman, mengikuti arus kepanikan itu, mengendarai motor dan bergegas pergi. Entah kemana. Tidak tau. Yang penting harus pergi jauh.

Ayah dan ibuku berboncengan mengikuti kami. Rumah dibiarkan kosong. Tidak terkunci. Seluruh kendaraan pergi menuju ke utara, pergi sejauh mungkin dari pantai. Hari itu, jantungku berdegup kencang, mulutku basah dipenuhi dzikir. Aku melihat orang-orang menangis di atas motor mereka, mereka benar-benar tidak peduli apa yang mereka tinggalkan. Mataku berkaca-kaca seketika, membayangkan kehilangan kedua orang tua dan keluarga.

Tapi pada saat itu juga adikku yang masih TK, ia duduk di tengah, di depanku, bertanya dengan polosnya, “Mas, kira-kira kalau gempa, rumahnya Power Ranger sama Ultraman hancur nggak?”

Dan entah, saat itu aku menjawab dengan serius, “Ya kalau markasnya kuat, nggak bakalan hancur,”

Paman tertawa. Kami sudah berjalan cukup jauh, berjejeran dengan ayah dan ibu yang berboncengan. Tiba-tiba ayah menyuruh paman untuk berhenti, minggir, keluar dari kerumunan.

“DURENKU KETINGGALAN!”

Ayah berteriak, cukup panik, sama paniknya setelah diguncang gempa. Tanpa babibu, ayah memutar balik, melawan arus, menyelamatkan durian kesayangannya.

Semua menepuk dahi. Apa yang durian itu telah lakukan pada ayahku? Kami melanjutkan perjalanan. Tidak sempat mencegah ayahku untuk pergi.

Di utara, tepatnya dari arah Gunung Merapi, masyarakat berduyun-duyun turun, ada yang bilang jika Merapi dalam kondisi siaga, siap meletus.

Hari itu, tidak ada tempat lari, di atas ada awan panas, di bawah ada ombak raksasa. Semua orang Kembali pada tuhannya, pasrah, panik, sedih, marah, bingung semua bercampur jadi satu.

Kami dan gerombolan orang-orang yang panik terhenti di depan palang kereta api, tertutup. Saat itu kereta api melintas pelan, tepat dari pintu masuk, ada seorang reporter, membawa kamera sedang merekam kami yang kebingungan. Tak sedikit dari kami melambaikan tangan. Kapan lagi masuk TV.

***

Keributan selesai, semuanya sudah kembali ke rumah masing-masing. Ternyata semua itu hanya isu, gunung Merapi dan Tsunami. Hanya kepanikan tanpa pengetahuan yang menular. Aku merasa bodoh hari itu. Apalagi setelah mengetahui banyak warga yang kehilangan hartanya karena tidak mengunci rumah mereka. Untung saja, ayahku cepat menyadari itu, ia kembali, mengambil durian dan menetap di sana. Menjaga rumah tepatnya.

Hari itu kami masih dihantui dengan gempa susulan, listrik masih mati, atmosfir kesedihan masih menyelimuti. Selama beberapa hari kami tidur di depan rumah, mendirikan tenda. Menyalakan lampu darurat dan lilin. Terus begitu, sampai semua kembali normal.

Jogja, 14 tahun lalu adalah sebuah satire, satire bagi orang-orang berduit yang yakin bahwa hartanya akan selalu aman dalam pengawasannya.

Jogja, 14 tahun lalu adalah sebuah panggilan, panggilan kemanusiaan. Panggilan untuk menguji seberapa sensitif kita kepada orang-orang yang sedang mengalami trauma, menangis, kehilangan segalanya. Untuk menguji seberapa kuat integrasi antara mulut yang berkoar-koar ‘kita harus saling menolong’ dan tangan yang enggan peduli.

Jogja, 14 tahun lalu adalah sebuah sejarah, layak untuk diceritakan, pedih untuk dirasakan dan indah untuk dijadikan pelajaran.

Penulis: Haekal Adha Al-Giffari

Penyunting: Aunillah Ahmad