Sekolah, mungkin kata itu adalah kata yang mulai asing setahun belakangan ini. Akibat pandemi, para pelajar terpaksa tidak bisa bersekolah seperti biasa, datang ke sekolah, duduk di bangku masing-masing, dan bermain bersama teman-teman. Kini semuanya harus sekolah daring dari rumah, memandang layar gawai yang menurut banyak pelajar sangat membosankan. Mereka juga mulai merindukan beberapa rutinitas yangkerap dilakukan semasa sekolah. Menyapu kelas, membersihkan papan tulis, atau tidur di kelas.

Itulah hal-hal yang paling dirindukan oleh pelajar masa kini. Namun, bagi pelajar zaman lalu, juga punya kerinduan, meskipun berbeda-beda. Salah satu yang paling dirindukan dari sekolah adalah kapur tulis, yang mana sempat menjadi alat tulis utama di kelas (untuk di papan tulis, ya). Bagi pelajar tahun 90-an, atau 2000-an, sudah pasti mengalami masa ini, di mana kelasnya masih memakai papan tulis hitam sebagai media belajar. Alat tulisnya, tentu saja kapur tulis, yang kadang ada banyak warna.

Salah satu kapur yang terkenal dan nyaris dijumpai di seluruh sekolah saat itu adalah kapur merek “Sarjana”. Dalam satu kotak kapur, berisi cukup banyak kapur tulis yang bisa digunakan dalam beberapa hari. Usia kapur tentu saja bermacam-macam. Ada yang usianya panjang kalau pelajarannya jarang ada kegiatan menulis di papan. Tapi, umur kapur bisa pendek kalau kegiatan menulis di papan cukup sering, dan kalau sesekali dipakai untuk melempar murid yang nakal. Multifungsi, lah, kapur tulis ini. Dipakai nulis bisa, dipakai menghukum juga bisa.

Sebagai anak yang mengalami masa sekolah di era 2000-an, saya tentu saja akrab dengan kapur tulis. Bahkan sejak TK (Taman Kanak-Kanak) saya sudah cukup akrab dengan kapur, karena beberapa kali belajar menulis di papan tulis kelas. Ketika masuk SD, pengalaman saya dengan kapur semakin beragam. Bayangkan saja, mulai kelas satu sampai awal kelas 6 SD, semua kelas memakai papan hitam dan kapur, sebelum diganti semua oleh papan putih dan spidol.

Ada banyak hal yang saya ingat dari hampir enam tahun memakai kapur sebagai media belajar di kelas. Satu hal yang pasti, adalah suara yang dihasilkan dari gesekan antara kapur tulis dan papan yang beradu, yang kadang membuat kita geli. Untung saja saya orangnya tidak terlalu mudah geli, jadi suara gesekan itu tidak terlalu mengganggu. Tapi kalau ada anak iseng yang sengaja menggesekkan kapur ke papan dengan keras dan suara gesekannya juga keras, nah baru saya geli dan terganggu.

Selain itu, ada juga pengalaman saya sering dilempar oleh guru dengan kapur tulis. Saya memang bukan murid yang nakal, tapi sesekali memang saya suka bikin ulah di kelas. Sekadar berbicara sendiri ketika guru menjelaskan, atau mengganggu teman di depan saya. Sebatas itu. Namun, berhubung perbuatan saya ketahuan guru, dan sudah berkali-kali diperingatkan, maka salah satu cara ‘menegur’ adalah melempar potongan kapur ke arah saya. Kalau tidak kena sih tidak apa-apa, tapi kalau kena, apalagi kena kepala, itu lumayan sakitnya. Ya sakit, ya malu.

Pengalaman yang paling menyenangkan tentu saja ketika piket, yang mana salah satu tugasnya adalah membersihkan papan tulis. Penghapus papan saat itu juga unik, yaitu dari kumpulan kain perca yang dijadikan satu seperti gumpalan kain. Setelah menghapus papan tulis dengan penghapus seperti itu, tugas setelahnya adalah membersihkan penghapus, yaitu dengan memukulkan dua penghapus satu sama lain, atau memukulkan penghapus ke tembok luar. Di situ akan terlihat debu-debu kapur yang beterbangan, yang kalau terhidup sudah pasti membuat bersin dan batuk. Tidak sehat, sih, tapi menyenangkan.

Pengalaman seperti inilah yang kadang dirindukan dari masa sekolah. Saya dan mungkin banyak orang merasa beruntung pernah mengalami sekolah di zaman memakai kapur. Sebab, saat ini sudah sangat jarang ada sekolah yang masih memakai kapur. Semuanya sudah memakai spidol dan papan putih, bahkan ada beberapa sekolah yang sudah tidak memakai papan tulis sebagai media belajar. Beruntunglah kita yang pernah mengalami masa itu, sebab kapur tulis adalah pengalaman paling menyenangkan selama kita bersekolah dulu.

Editor: Nawa

Gambar: mylovepik