Di tangan generasi Z, tradisi tulisan tangan diambang kepunahan, senasib dengan tradisi petan atau dhidhis. Itu lho, mencari kutu yang biasa dilakukan emak-emak pada zaman old.

Tahun 1980-90-an, saat Gen X (kelahiran tahun 1965-1980), sekolah SD hingga SMA, nyaris semua tugas sekolah dikerjakan dengan ditulis tangan.

Handwriting sampai Kriting

Saat SD, Berlibur ke Rumah Nenek adalah tema favorit saya dalam tugas menulis karangan fiksi, pelajaran Bahasa Indonesia. Lebih dari empat halaman folio bergaris dihabiskan untuk berjuang mendapatkan skor minimal B.  

Selain kemampuan akademis, (pintar dalam matematika, contohnya) siapa yang menulis dengan baik dan estetis akan mendapat pengakuan sosial. Di kelas selain ketua kelas, ada jabatan yang khas. Jabatan yang diemban oleh siswa dengan skill handwriting di atas rata-rata. Ya, tepatnya sekretaris kelas.

Pada saat itu, sumber referensi utama, dan seringnya satu-satunya adalah buku yang dipegang gurunya. Ada sesi-sesi tertentu diisi kegiatan menyalin materi. Sekretaris Kelas menyalin dari dari buku paket ke papan dengan kapur putih. Lalu, semua siswa mencatat dalam buku masing-masing. Tak banyak siswa  lihai menulis agar hasilnya tidak naik turun gunung. Juga dengan proporsi terbaca dari barisan depan sampai barisan belakang.

Nah, dengan aktivitas tersebut, guru bisa rehat sejenak. Mungkin sambil menghitung tenor angsuran motornya, menyempatkan keluar kelas (pernah mikir nggak sih, aroma kelas saat jam-jam siang akibat siswa pada keringatan), makan bakso di ruang guru yang dipesan dari kantin, atau keluar jemput anak.  

Dengan DNA skill menulis tangan yang cukup andal. Tak sedikit saya diminta jasanya oleh teman. Menulis surat cinta, untuk nembak gebetannya. Puncak pengakuan soal handwriting adalah saat dikasih tugas besar, menulis ijazah sekolah. Kepiawaian menulis tangan selain dibutuhkan dan penting, juga mendapat cukup pengakuan sosial. Jadi, tak ada keberatan handwriting sampai kriting.

Lahirnya Generasi Cakar Ayam

Tetapi zaman kiwari, tradisi menulis tangan ini menjelang senjakala. Sejak datangnya komputer dan internet, handwriting tak lagi penting, Muncullah era printing. Bersamaan itu lahir Generasi Milenial. Kemudian ketika smartphone datang, hadirlah Gen Z. Era paperless.

Nah, belum lama kepada saya, sepasang orang tua berkisah. Mereka syok, jantung berhenti berdetak sesaat, mentalnya kejengkang, gegara mendengar anaknya, sebut saja namanya Zydan, kirim pesan via whatsapp,

“Bun, Zydan mau berhenti kuliah. Di kampus kebanyakan tugasnya dan laporan. Dan yang nggak tahan, semua musti dikerjakan dengan tulisan tangan. Mungkin, Zydan cari kampus atau jurusan lain saja, yang penting yang nggak harus banyak nulis tangan”.

Siapa orang tua yang tak merinding mendengar alasan yang sulit diunderstanding. Zydan saat ini, baru saja semester kedua. Dia adalah bagian dari generasi Z.

“Apa kami nggak salah dengar?”. Begitu respon pertama orang tua si Zydan.

Apa nggak ada alasan yang lebih masuk akal dari ini. Sebut aja misalnya, salah jurusan, pengin langsung kerja, atau teman-temennya nggak asyik. Lagipula, tugas harus ditulis manual, untuk mencegah modus copy paste. Menulis akan membuat lebih cermat menyusun dan memahami kalimat. Menulis tangan menuntut kita untuk membaca teliti.

Bukan Salah Dengar

Reaksi kaget atas alasan Zydan, adalah bukti ada gap Gen X, Milenial dengan Gen Z. Orang tua Zydan bukan salah dengar. Tetapi mungkin gagal paham.  

Kita lupa bahwa gen Z sekarang lebih banyak, bahkan dibanding Milenial. Semetara ini, kita masih latah, dikit-dikit milenial. Merujuk SP2020, penduduk Indonesia adalah 270,20 juta. Didominasi Gen Z dengan 27,94 % (lahir 1997-2012). Milenial (lahir 1981-1996) adalah 25,87%, Gen X sebanyak 21,88 % (kelahiran  1965-1980), sisanya Baby Boomer (kelahiran 1946-1964) sebanyak 11,56% dan Post Gen Z (kelahiran 2013 sampai sekarang).

David Stillman dan Jonah Stillman dalam GEN Z @ WORK, sudah ngingetin lho. Generasi milenial sekarang bukan anak-anak, mereka sudah punya anak. Jadi, sekarang gen Z sudah mulai di depan. Mereka nggak pake popok lagi, sebagian bahkan sudah siap masuk pasar kerja. Generasi Z pelan–pelan sudah menyalip. Generasi pendahulunya, mau nggak mau mengikuti ritme, pola dan cara hidupnya.

Gen X menilai Gen Z memang generasi “cakar ayam”. Seorang guru SMA, pernah bilang, “Kualitas tulisan tangan sanak sekarang parah habis”. Sedikit penasaran, pernah saya intip berkas-berkas tulisan tangan anak-anak SMA sekarang, saya bisa makmum dengan pendapatnya.  

Biar tambah objektif, saya survey kecil-kecilan. Teman-teman selaku orang tua dan yang berprofesi guru. mengkonfirmasi, “Emang bener, anak SMA sekarang, tulisannya kaya cakar ayam, seperti anak SD”

Jadi, alasan Zydan. Bukan alasan yang mengada-ada, melainkan masuk akal. Sebetulnya, Gen Z lebih banyak nulis dibanding generasi sebelumnya. Tiap hari mereka sudah ngetik whatsapp, posting ini itu, mungkin ngeblog, bikin status. posting ini itu. Bedanya mereka tidak dengan manual.

Ekspresi mereka kerap lewat emoticon saja. Gen Z adalah generasi emotikon. Jika ini gagal dipahami, maka berhadapan dengan generasi Z, para orang tua, guru, dosen, orang dewasa dan generasi sebelumya, bisa-bisa menjadi generasi yang emosian.

Tradisi handwriting menjelang senjakala. Ini baru sejumput ciri Gen-Z. Jadi, sudah waktunya segera memahami Gen Z.

Generasi pendahulu dilarang emosian menghadapi Generasi Emoticon. Kalau orang tua terkaget-kaget mungkin masih bisa maklum. Tetapi bagaimana jika dunia pendidikan tidak punya pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik Gen Z? Dari sini kita bisa mencatat banyak kritik. Kenapa masih banyak guru atau dosen buka email tugas dari siswa saja enggan? Kenapa tugas tak bisa dibuat paperless saja. Dan, banyak kenapa-kenapa yang lain.

Dunia sudah mulai dikepung Gen Z. Mereka di mana-mana. Apa boleh buat, roda zaman tak bisa diundo. Gen Z sedang menuliskan nasibnya. Tak ada pena dan kertas ditangannya.

Editor: Nawa

Gambar: Magazine Job-like.com