Sebagai mahasiswa, sudah sewajibnya untuk mencari lokasi strategis untuk menetap. Terlebih lagi bila universitas yang ditempuh sangat berjauhan dengan rumah atau tempat tinggal. 

Jadi, tidak begitu mengherankan ketika melihat banyaknya mahasiswa yang berbondong-bondong untuk merebutkan tempat untuk menetap. Apalagi jika lokasi tersebut berdekatan dengan universitas, supermarket, tempat makan, toko ATK, dan tempat lain yang mampu mendukung kebutuhan mahasiswa. 

Tetapi, menjadi mahasiswa yang memilih untuk PP atau pulang-pergi, narasi tersebut menjadi bentuk keirian yang tak bisa didapatkan. 

Lantas, apa sih keluh kesah menjadi mahasiswa PP?

Perjalanan Membosankan dengan Waktu yang Terkikis 

Sebagai mahasiswa PP, waktu subuh atau pagi adalah waktu yang normal bagi saya untuk memulai hari. Bangun di jam 3 atau 4 pagi, mandi dengan air yang sangat dingin, dan sarapan terlalu dini merupakan rutinitas setiap hari mahasiswa PP. Belum lagi jika harus merebutkan bus pagi. 

Biasanya, halte DAMRI atau bus sudah amat ramai, sehingga perlu mengantri panjang. Bahkan, saya perlu menunggu bus lain dengan antrian yang masih panjang. 

Waktu transisi antara satu bus dengan bus lain memakan waktu yang cukup banyak, yakni paling tidak 30-45 menit. Dan saya masih harus menunggu antrian dengan waktu kurang lebih 5-10 menit. Sudah dipastikan berapa jam yang dibutuhkan hanya untuk mendapatkan satu kursi bus demi ke kampus.

Bukan hanya itu, perjalanan dari halte bus kota menuju kampus memakan waktu hampir sejam. Perjalanan dengan waktu satu jam mungkin bisa membawa kita liburan ke kota lain, tetapi sebagai mahasiswa PP sudah menjadi hal yang pokok untuk pergi ke universitas. 

Lelah, Capek, dan Rebutan Tempat Duduk

Berkuliah memang merupakan proses yang menguras energi dan tenaga. Ini dikarenakan pelajaran yang diberi saat kelas perkuliahan membutuhkan fokus, serta konsentrasi tinggi guna menyerap materi. Belum lagi jika ada kesibukan lain, seperti UKM, organisasi, atau kerja paruh waktu. Namun, yang menjadi keresahan sebagai mahasiswa PP adalah kelelahan berlebih saat rebutan bus untuk pergi dan pulang. 

Rebutan bus adalah tahap menyebalkan bagi saya secara pribadi karena sangat membuat saya lelah. Di pagi hari ataupun sore hari, halte bus sangat kacau ramainya, sehingga terkadang mengantri pun menjadi tak berguna. Mungkin bagi beberapa mahasiswa, bus menjadi satu-satunya transportasi menuju kampus atau pulang, dan tidak boleh untuk dilewatkan. Sehingga wajar jika budaya mengantri dikalahkan dengan budaya rebutan.

Satu hal lain yang menjadi bentuk kenormalan budaya rebutan ini adalah terbatasnya tempat duduk bus. Kursi bus yang belum tentu tersedia ini mendorong mahasiswa untuk memaksimalkan aksi rebutan mereka guna mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Jika tidak menemukan tempat duduk, mahasiswa bisa duduk di bangku plastik yang mungkin disediakan dalam bus, berdiri sambil memegang gantungan bus, atau duduk di lantai bus. 

Jadi, tidak heran lagi jika mahasiswa PP terkadang berakhir tidur selama perjalanan karena memang menguras energi dan menyebabkan kelelahan. 

Biaya dan Beban Keuangan Bertambah

Kita semua tahu bahwa biaya pendidikan umumnya relatif tinggi. Namun, sebagai mahasiswa PP, biaya transportasi merupakan biaya tambahan yang menambah beban anggaran keuangan mahasiswa.

Mungkin bagi beberapa universitas, transportasi yang tersedia tidak membutuhkan biaya yang mahal. Begitu juga dengan universitas saya, tetapi jika menjalani kehidupan mahasiswa PP setiap hari ataupun minggu, hal ini tentu menjadi beban tambahan dalam keuangan. Terlebih lagi jika jarak antara rumah dan universitas yang sangat jauh. Bukan hanya ongkos bus yang perlu dikeluarkan, tetapi juga ongkos ojol.

Menjalani kehidupan sebagai mahasiswa PP memang bukan hal yang mudah. Namun, jangan mematokkan ketiga keluh kesah tersebut untuk menjadi alasan tidak ingin pulang pergi. Diperlukan berbagai pertimbangan lain dalam memutuskan ingin menjadi mahasiswa PP atau mahasiswa kost.

Editor: Yud

Gambar: Unsplash