Apakah kamu sulit berjarak dengan smartphone dan sosial media? Apakah koneksi jaringan yang tidak stabil membuat kamu stress dan tidak update sosial media? Kamu si tipe scroller? Ataukah kamu tipe orang yang malas berlama-lama di sosial media dan lebih nyaman jika melakukan sesuatu di luar teknologi? Bisa jadi kamu termasuk bagian dari milenial Si Fomo atau Si Jomo loh!

Banyak hal yang dapat dilakukan dengan berselancar di sosial media. Kita bisa up to date dan tahu banyak hal. Namun, kebiasaan untuk melihat sosial media baik itu instagram, whatsapp, twitter, youtube, dan platform lainnya bisa membuat kita ketergantungan loh. Dan tidak sedikit juga yang malah tidak bisa jauh-jauh dan gelisah jika tidak membuka sosial media dalam sehari. Ketergantunganmu itu bisa disebut dengan FoMO. 

Siapa Itu si FoMO? 

Istilah FoMO (Fear Of Missing Out) dikembangkan oleh seorang ilmuwan asal Inggris yaitu Dr. Andrew K.Przybylski pada tahun 2013. Ketakutan akan ketertinggalan informasi merupakan ciri dari gangguan FoMO. Kebanyakan dari pengidap FoMO ini merupakan milenial atau individu yang berusia remaja hingga dewasa awal. 

Individu yang mengalami FOMO akan terus tertarik untuk menggunakan internet sehingga dapat menyebabkan individu tersebut cenderung mengalami kecanduan media social. Seseorang dengan gangguan FoMO ditandai dengan timbulnya rasa cemas, gelisah, dan takut akan kehilangan momen berharga yang dimiliki oleh orang lain dan ingin mengetahui apa yang orang lain lakukan. Kegiatan stalker juga termasuk ke dalam FoMO loh.

FoMO dapat menjadi permasalahan sosial yang serius karena terbukti bahwa seseorang yang mengidap FoMO lebih cenderung untuk mengabaikan aktivitasnya dan sibuk bersosial media. Faktor lain yang mendorong FoMO adalah rendahnya kepuasaan seseorang dalam menjalani hidupnya. 

Seseorang dapat dikatakan FoMO apabila ia mengalami gejala-gejala seperti tidak dapat melepaskan diri dari ponsel, cemas, dan gelisah jika belum mengecek akun media sosial, lebih mementingkan berkomunikasi dengan rekan-rekannya di media social, terobsesi dengan status dan postingan orang lain, dan selalu ingin eksis dengan menshare setiap kegiatannya dan merasa depresi jika sedikit orang yang melihat akunnya. 

Apakah Kamu Termasuk si JoMO?

Berbeda dengan FoMO, JoMO (Joy of Missing Out) atau lebih dikenal dengan istilah cara hidup yang lebih santai dan tidak merasa bermasalah jika tidak update dan jauh dari media social. Seseorang yang memiliki gaya hidup JoMO akan memberikan kesempatan untuk menjalani hidup dengan ritme yang lebih lambat dan terfokus kepada hubungan interaksi dengan manusia secara langsung. 

Istilah JoMO dipromosikan pertama kali oleh Christina Crook pada bukunya The Joy Of Missing Out. Crook mengatakan bahwa JoMO merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk mengambil keputusan untuk terputus dari dunia internet dan menjalani hidup secara offline. Gaya hidup JoMO akan membuat kehidupan sehari-hari lebih nyaman dan santai. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesibukan yang tidak berarti yang dilakukan dengan memperhatikan kesibukan orang lain. Hal ini menjadikan seseorang membandingkan kehidupanmu dengan kehidupan seseorang yang ia ikuti di sosial media. 

Jadi, kamu tipe milenial si FoMO atau si JoMO nih?

Seseorang dengan pengidap FoMO akan mengalami stress dan insecure akan apa yang ia miliki. Dan hal ini akan menghambat kesuksesannya. Tidak hanya itu, seseorang yang mengidap FoMO akan cenderung mudah terjangkit mental illness yang akan mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Jika semakin parah dan berlangsung lama, seseorang dengan gangguan FoMO akan mengidap penyakit mental yang lebih serius lagi dan tidak mengenal identitas dirinya sendiri. 

Gaya hidup FoMO maupun JoMO merupakan gaya hidup yang kita tentukan berdasarkan seberapa besar kuantitas kita memanfaatkan media social. Tentunya, jika kita ingin memiliki kehidupan yang lebih nyaman dan berarti, sebaiknya kita dapat menerima bagaimana diri kita. Juga menjalankan kehidupan dengan standar kehidupan kita, bukan kehidupan orang lain. Kebermaknaan akan terasa jika kita bisa menghargai diri kita sendiri salah satunya dengan memberikan waktu tanpa smartphone dan social media. Atur waktu agar dapat menyeimbangkan kapan kamu harus realistis dan berinteraksi dengan manusia, dan kapan kamu akan berselancar di sosial media.