Setelah saya renungkan, ternyata selama semester ini saya kerjanya cuma main saja atau jangan-jangan ini efek dari media sosial. Alhasil kewajiban kuliah mangkrak, yang sebenarnya karena malas, bukan karena sibuk. Ada aja alasan untuk ‘malas’ dan alasan malasnya, yaa karena sibuk kegiatan. Misal, ketika ditanya “Gimana skripsi?” “Belum, lagi persiapan ada proyek ini-itu. Gak fokus mau skripsi,” jawaban yang elegan, kan?

Membatasi Penggunaan Media Sosial

Setelah saya telisik, biang keroknya adalah WA. Setelah punya android dan WA segalanya jadi intim. Mudah saja menghubungi siapa saja dan tanya apa saja. Termasuk ngajak main, kegiatan, diskusi, sampai sekedar guyonan, pasti ada aja di WA. Setidaknya hari ini ada dua ajakan ngopi. Ini asik pasti. Tapi, yaa memperpanjang alasan saya untuk malas mengerjakan skripsi.

Mungkin saya harus off dulu dari WA. Mungkin beberapa hari atau minggu atau bahkan bulan. Emang bisa? Bisa saja, dulu pernah android disita satu minggu sama ustadz karena gak hafal an-Naba’. Alhasil, tidak hanya nggak WA-an, tapi juga enggak Instagram, Twitter, dan Facebook. Saya enjoy saja, enak aja.

Saya jadi paham beberapa seniman memilih membatasi dirinya tidak menggunakan media sosial. Salah satunya Reza Rahardian. Ia tidak menggunakan Instagram dan Twitter. Mungkin, karena media sosial memberi efek terlalu intim, sampai tidak ada ruang untuk diri sendiri.

“Dengan tidak ada medsos pun karier saya baik-baik saja. Kepercayaan produser terhadap saya tetap ada. Saya tidak merasakan dampak negatif,” kata Reza.

Ini kebalikan dari masa lalu. Dulu, waktu SMP tren internet, google, dan facebook sedang naik-naiknya. Youtube saat itu tidak serame sekarang, namun malah lebih asyik dulu ketimbang sekarang.

Ketika saya merasa penat dan bosan. Saya langsung genjot sepeda ke warnet. Tak peduli itu malam, hujan, atau panas. Saya tetep nekat hanya kepingin nonton cover lagu di Youtube, sekalian belajar gitar. Lalu main Facebook satu jam sudah seneng. Kadang malah janjian sama temen mau online jam berapa. Hanya sekedar kepengin chattingan.

Nah sekarang, akses internet 24 jam nonstop. Setiap saat kita terhubung dengan banyak orang. Grup WA rame, Instagram rame, Twitter banyak buzzer. Itu semua membuat saya penat, dan kepingin membatasi arus deras itu.

Jalan Sunyi

Misalnya grup WA, kemrutuk gak karuan. Ada grup pemuda, yang isinya cuma meributkan hal sepele. Padahal kalau saja mau ketemu, dibahas dan diobrolkan langsung pasti gampang-gampang aja.

Tapi ditengah keriuhan itu, Facebook saya mulai sepi. Kawan-kawan saya tak banyak lagi yang menggunakannya. Dari sekian ribu teman di FB, paling cuma puluhan yang online. Nah, disaat itu saya merasa nyaman, karena tidak seriuh medsos lain.

Saya tetap butuh ruang untuk menulis. Dulu menulis itu sekedar tuntutan. Apalagi ikut kelasnya kepenulisan di kampus dua semester–maklum ngulang–yang mengharuskan saya setiap minggu upload tulisan panjang di FB. Mau tidak mau main FB lagi. Eh, ternyata kok asik. Kini malah keterusan. Meski terkesan seperti bapak-bapak, yaa nggak apa-apa.

Banyak keresahan yang kepingin saya salurkan ke media. Yang paling mudah dan nyaman, yaa FB. Kalau dikirim ke media daring mungkin tidak laku. Lawong isinya curhat saja. Lagian saya ini siapa. Nama saya belum menjual. Kalaupun tulisan ini tembus media, coba tanya redakturnya, jangan-jangan gak ada tulisan lain yang masuk.

Makanya saya kepingin tetap FB-an. Untuk sekedar menyehatkan pikiran. Menggerakan otak untuk tetap berfikir. Proses itu didapat melalui kreatifitas menuangkan ide lewat tulisan. Proses itu juga terjadi saat membaca. Perlahan saya mendapat kenikmatan membaca dan menulis.

Mungkin ini saatnya untuk mengurangi keriuhan, kesemrawutan, dan kemrutukan media sosial. Lalu menempuh jalan sunyi ala para filsuf lewat jalur tasawuf modern milik Hamka. Setidaknya, untuk beberapa hari/minggu/bulan ke depan saya lepas dunia permedsosan. Lamanya tergantung situasi-kondisi, pengennya sih selama mungkin, eman-eman kesehatan mental saya.