Pendidikan adalah suatu proses pembekalan hidup bagi peserta didik yang sangat penting dalam menjalani kehidupan. Sebagai warga negara, kita memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Hal ini tak terkecuali bagi seluruh lapisan masyarakat yang ada di Indonesia bagaimanapun latar belakang sosial dan masyarakatnya. Pendidikan menjadi dasar dan fondasi yang penting dalam membangun sebuah bangsa. Layaknya sebuah bangunan tanpa fondasi, begitulah sekiranya gambaran apabila pendidikan tidak ditegakkan dan dilaksanakan dengan baik. Untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang ada, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia membuka lembaga pendidikan nonformal yaitu Pendidikan Kesetaraan yang dibedakan menjadi tiga macam yaitu Paket A setara dengan SD, Paket B setara dengan SMP, dan Paket C setara dengan SMA. Perbedaan yang mendasar dari pendidikan formal dan nonformal sendiri terletak pada konsep pembelajarannya. Konsep pembelajaran dalam Pendidikan Kesetaraan tidak hanya berfokus pada akademis, tetapi juga pengembangan keterampilan. Konsep pendidikan yang digunakan oleh Pendidikan Kesetaraan inilah yang ternyata memiliki keselarasan dengan konsep pendidikan di Taman Siswa.
Konsep Pendidikan di Sekolah Taman Siswa
Pada tanggal 3 Juli 1922, lahir sebuah sekolah yang bertujuan untuk menjangkau seluruh masyarakat di Indonesia dalam mendapatkan pendidikan. Nama sekolah ini adalah Taman Siswa. Sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara ini, pada dasarnya menanamkan sebuah prinsip utama yaitu humanisme atau kemanusiaan dan kemerdekaan atau kebebasan. Konsep Humanisme yang digunakan ini, memiliki makna memanusiakan manusia. Hal itu berarti, Ki Hajar Dewantara selalu membebaskan siswanya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki serta mendapat kemerdekaan atas lahir dan batinnya.
Konsep humanisme tersebut, diimplementasikan menggunakan sebuah metode yang kemudian kita kenal dengan Among-methode atau Metode Among. Metode ini dilakukan dengan tidak menghendaki “paksaan-paksaan”, melainkan memberi “tuntunan” bagi hidup anak-anak agar dapat berkembang dengan subur dan selamat, baik lahir maupun batinnya. Metode Among sendiri terbagi menjadi tiga metode penjabarannya yaitu ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Ngerti memiliki makna bahwa pengajar atau pamong diharapkan bisa memberikan pengertian dan ilmu termasuk budi pekerti. Ngrasa memiliki makna bahwa siswa diharapkan bisa merasakan pengajaran yang ia dapatkan. Nglakoni memiliki makna bahwa pembelajaran yang diimplementasikan akan selalu memberikan dampak, baik positif maupun negatif serta bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya.
Selain Metode Among, terdapat sebuah konsep pendidikan yang tak kalah menarik yaitu konsep belajar tiga dinding. Konsep tiga dinding ini bisa dimaknai secara eksplisit yaitu dengan menyisakan satu dinding kosong dari yang seharusnya empat buah dinding dalam satu ruangan. Namun, untuk memahami makna yang relevan dengan konsep tersebut, kita juga harus memandang ini di luar dari makna eksplisitnya. Menurut filosofinya, konsep ini mengandung makna bahwa dalam melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran, kekosongan satu bagian bidang dinding tersebut dapat menjadi penghubung antara pendidikan di sekolah dengan kehidupan yang berlangsung di luar sekolah. Dari pemaknaan itu, dapat disimpulkan bahwa sosok pejuang pendidikan yang lahir di 2 Mei ini ingin mengarahkan pemikiran kita bahwa pembelajaran yang berlangsung di sekolah diharapkan bukan hanya sekedar teori dan akademis saja, tetapi juga harus dilakukan pengembangan potensi siswa yang kelak dapat digunakan sebagai bekal menjalani kehidupan baik ketika bekerja atau pun melanjutkan pendidikannya ke jenjang selanjutnya. Konsep-konsep tersebutlah yang pada akhirnya dapat membangkitkan semangat masyarakat Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
Konsep Pendidikan di Lembaga Pendidikan Kesetaraan
Sama halnya dengan konsep kemerdekaan dan kemanusiaan, Pendidikan Kesetaran juga menerapkan konsep yang selaras dengan konsep hasil cetusan sosok yang memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat tersebut. Sesuai dengan
apa yang melatarbelakangi diselenggarakannya Pendidikan Kesetaraan, konsep kemerdekaan ini memang digunakan untuk menyesuaikan kondisi siswanya yang beragam. Ada dari mereka yang mengambil Pendidikan Kesetaraan karena putus sekolah, kondisi yang mengharuskan mereka bekerja sambil sekolah, tidak tersedianya tempat lembaga pendidikan formal di daerahnya, atau mungkin hanya sekedar tidak cocok dengan tata penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di lembaga pendidikan formal. Kondisi-kondisi itulah yang akhirnya melahirkan konsep kemerdekaan di Pendidikan Kesetaraan.
Berbicara mengenai kurikulum merdeka yang dipergunakan saat ini, Pendidikan Kesetaraan memiliki tambahan kompetensi yang harus dilaksanakan yaitu pemberdayaan dan keterampilan. Kompetensi pemberdayaan dan keterampilan ini dilaksanakan dengan mengajak siswa untuk bisa mengembangkan soft skill yang dimiliki seperti halnya barista, tata busana, tata boga, konten kreator, dll. Setiap Lembaga Pendidikan Kesetaraan dibebaskan untuk memilih apa capaian pembelajaran keterampilan yang akan diselenggarakan dan tidak terpaku pada pilihan yang disediakan. Pemilihan kompetensinya diharapkan dapat menyesuaikan sesuai dengan potensi siswa dan peluang kerja kedepannya.
Meskipun penerapan kompetensi pemberdayaan dan keterampilan baru diselenggarakan setelah terbitnya kurikulum merdeka, akan tetapi konsep pembelajaran dengan pengembangan life skill dan soft skill ini memang sudah diterapkan oleh Lembaga Pendidikan Kesetaraan sebelumnya. Materi pembelajaran di Pendidikan Kesetaraan memang sejak dahulu telah lebih berfokus pada pengembangan potensi dan keterampilan para siswanya. Proses pelaksanaannya pun tidak dilakukan 100% melalui sistem tatap muka. Selain tatap muka, pembelajaran juga dibagi menjadi sistem tutorial dan belajar mandiri. Kefleksibilitasan dalam penyelenggaraannya ini lah yang membuat para masyarakat pada akhirnya tetap memilih untuk memenuhi hak pendidikannya dengan belajar di lembaga pendidikan nonformal ini.
Keselarasan Konsep Pendidikan di Taman Siswa dan Pendidikan Kesetaraan
Dari pemaparan yang telah disampaikan, dapat diambil benang merah bahwa Taman Siswa dan Pendidikan Kesetaraan memang sama-sama menerapkan konsep kebebasan atau kemerdekaan. Mulai dari tujuan diselenggarakannya Pendidikan
Kesetaraan yang memperjuangkan hak kemanusiaan selaras dengan konsep humanisme, hingga konsep pembelajaran di Pendidikan Kesetaraan yang tidak hanya berfokus pada bidang akademis saja, akan tetapi juga pengembangan keterampilan tentu juga sangat selaras dengan konsep tiga dinding dimana kedua konsep tersebut merupakan konsep yang digunakan di Sekolah Taman Siswa.
Penulis: Yud
Gambar: Kompas
Artikel ini bekerja sama dengan Komunitas Cakra Dewantara
Comments