Pada dasarnya, saat ini Indonesia adalah sebuah setting strategis bagi sebuah genre film maupun novel fiksi distopia. Pandemi, bencana alam bertubi-tubi, bantuan sosial yang dikorupsi, konflik horisontal antar-pemangku kepentingan, polisi siber, perhatian publik yang dibeli oleh orang-orang tenar, bom huru-hara. Bukankah kriteria-kriteria yang sudah ada cukup kuat menjadi bukti bahwa kita memang sedang menjalani hidup dalam fiksi distopia?

Distopia

Distopia merupakan sebuah genre kebalikan dari utopia, di mana utopia ini merupakan genre yang anteng-antengsaja, begitu tenang dan damai hidupnya. Setiap hari langit begitu biru tanpa lapisan polutan. Tatanan sosial dan politik yang indah seperti yang diharapkan Pancasila, bahkan dicurigai masyarakat utopis hidup berdampingan bersama kecoa dengan sejahtera. Indahnya hidup tanpa manufaktur obat pembasmi serangga.

Kebalikanya, genre distopia ini begitu destruktif. Bisa berupa kehancuran tatanan sosial maupun politik, bisa dikarenakan kondisi alam dan bencana-bencana yang melanda, ataupun alur apokaliptik, karena teknologi seperti pada film fiksi ilmiah distopia legendaris kita semua, “Matrix” atau “Terminator”. Secara aktualnya, perwujudan ketidakpercayaan publik serta tekanan massal, terlebih pada pihak sipil. Perlawanan dan penidasan adalah topik utama dalam genre ini.

Babak Fiksi Distopia

Untuk memahami dimensi fiksi distopia yang mana (sebenarnya) kita hidup di dalamnya, setidaknya kita harus membedahnya menjadi kolom-kolom peristiwa yang mudah dipahami bersama-sama.

Pada babak pertama, dalam fiksi distopia yang kita hidupi  ini, tentu saja diawali dengan penggambaran fenomena sosial masyarakat yang dirugikan. Kemiskinan, ketimpangan pada strata sosial masyarakat yang tak kasat mata. Untuk menambah dramatisasi, harus dibubuhkan asosiasi atas pemangku kebijakan dengan perusahaan perusak lingkungan. Yang keduanya merupakan ancaman utama kaum marjinal yang mempertahankan hak-hak fundamentalnya, dan tentu saja dilatari oleh proses kematian sebagaian besar dari bentang alam.

Babak kedua adalah rising conflict, di mana kita dipertemukan oleh aktor yang luar biasa tenar, pandemi Covid-19 namanya, unik seperti kode nama agen mata-mata. Peran Covid-19 ini begitu krusial, karena dengan kemunculannya, ketimpangan dalam struktur pengelolaan peradaban yang ada pada babak pertama menemukan waktu yang tepat untuk menguliti fakta yang ada.

Kita dibenturkan dalam dua pilihan keputusan, menelan apa-apa yang terjadi atau menjadi gila dan tidak mau percaya. Sialnya, lebih banyak dari orang-orang berkuasa yang memilih untuk menjadi gila sehingga kenyataan merupakan sesuatu hal yang dijadikan bahan gurauan. Gurauan itu tak bertahan lama, jiwa-jiwa yang dipertaruhkan untuk menolak kenyataan sudah melebihi dari yang bisa kita hitung dengan jari.

Babak ketiga, kehancuran. Kehancuran bisa berupa apa saja, selama metafisika mempunyai definisi atas kehancuran itu sendiri. Tanah hancur, tempat ibadah hancur, kepercayaan hancur, moral hancur. Semua itu sebenarnya sedang kita saksikan bersama-sama, kita yang tiap pagi mengecek lini masa akun sosial media.

Bencana sejak awal tahun ini tak terhitung jumlahnya, konflik kepentingan orang-orang besar yang jadi komoditi tiap hari tak pernah basi, segala bentuk gesekan antar-perbedaan semakin kontras rasanya. Dan rasanya, kehancuran sudah menjadi rancangan yang sempurna bagi kita semua.

Rancangan sempurna itu, sayangnya akan sia-sia. Karena, pada sekenario yang ada, tak pernah diikutsertakaan kemanusiaan yang didapati pada hal-hal kecil kita sehari-hari. Memberi naungan kucing liar atau memberi uang lebih kepada penjaga parkir swalayan tak pernah dituliskan sehingga improvisasi ini akan menjadi sebuah rantai pada tindak kemanusiaan kecil-kecil lainnya, sekecil doa-doa baik yang tak pernah kita sadari datangnya dari mana.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Jernih.co