Pernahkah anda merasa seperti manusia yang selalu mencari perasaan seperti mi instan, tetapi rasa hidupnya kurang gurih?. Well, selamat datang di dunia yang haus akan validasi, di mana kita sering kali menghabiskan waktu dan energi untuk mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang lain. Inilah kisah kita, sekelompok manusia yang mencoba memuaskan rasa lapar akan validasi dengan segala cara, walaupun akhirnya menyadari bahwa ada hal-hal lain yang perlu diprioritaskan.

Obsesi Mencari Sensasi

Pertama-tama, mari kita bahas tentang obsesi kita dengan media sosial. Apakah ada yang bisa mengalahkan sensasi saat mendapatkan notifikasi “like” di postingan kita?. Rasanya seperti menemukan tambahan bumbu rahasia di mie instan favorit kita!. Kita mencurahkan waktu berjam-jam untuk mengedit foto, menulis caption yang “wow” dan mengejar jumlah follower yang melonjak. Tapi apakah ini benar-benar memberi rasa yang memuaskan dalam hidup kita?. Mungkin sejenak, tapi setelah itu kita tetap merasa lapar dan mencari sensasi berikutnya.

Kemudian, mari kita bicarakan tentang kecanduan kita terhadap pujian dan pengakuan. Kita seperti pengemis lapar yang tak pernah puas dengan secuil pujian. Ketika seseorang mengatakan, “kamu pintar!”, kita langsung meminta porsi tambahan dengan memamerkan cerdasnya kita di bidang lain. Kita ingin dicintai dan diakui atas segala hal yang kita lakukan. Seolah-olah hidup kita adalah buffet all-you-can-eat, dan kita tak henti-hentinya memasukkan makanan validasi ke dalam mulut kita. Tapi hey, kita perlu ingat bahwa hidup ini bukanlah restoran bergaya prasmanan yang tak ada habisnya!

Dalam dunia yang penuh dengan tekanan sosial dan penilaian, kita seringkali merasa tergoda untuk mencari pujian dan pengakuan sebagai konfirmasi bahwa kita sedang melakukan sesuatu dengan benar. Kita ingin dilihat, didengar, dan diakui oleh orang lain. Tetapi ketika kebutuhan akan pujian berubah menjadi obsesi, kita mungkin kehilangan diri kita sendiri dalam prosesnya.

Lapar Pujian dan Pengakuan

Obsesi pujian dan pengakuan seringkali dimulai dengan harapan yang wajar untuk mendapatkan penghargaan atas kerja keras dan pencapaian kita. Tetapi seiring berjalannya waktu, kita mungkin terjebak dalam siklus yang tidak sehat. Kita mulai mencari pujian untuk setiap tindakan kecil yang kita lakukan, bahkan untuk hal-hal sepele seperti penampilan fisik atau apa yang kita posting di media sosial.

Kita menjadi tergantung pada pujian dan pengakuan dari orang lain sebagai sumber kebahagiaan dan kepercayaan diri kita. Ketika kita tidak mendapatkan validasi yang kita inginkan, kita merasa tidak berharga dan tidak cukup baik. Kita merasa seperti berjalan di atas kaca yang rapuh, takut akan penilaian dan penolakan.

Tidak hanya itu, kita juga sering terjebak dalam perangkap perbandingan sosial. Kita melihat tetangga sebelah dengan mobil baru, teman kuliah yang membangun karier gemilang, atau mantan pacar yang tampaknya hidup dalam dunia sempurna. Dan kita? kita merasa seperti mi instan yang selalu jadi andalan saat kehabisan waktu dan inspirasi. Kita lupa bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri, dan bukanlah hal yang sehat untuk membandingkan hidup kita dengan orang lain. Mari kita hentikan kompetisi sia-sia ini dan fokus pada hidup kita sendiri, seperti mencoba mi instan dengan topping yang lebih kreatif dan unik.

Validasi Sesuai Porsinya

Terakhir, kita perlu belajar menghargai rasa hidup yang lebih dari sekadar validasi. Mungkin saat ini kita hanya mencicipi rasa mie instan, tapi dunia ini memiliki beragam hidangan lezat yang layak dicicipi. Jangan biarkan obsesi terhadap validasi menghalangi kita untuk menikmati momen kecil, hubungan yang bermakna, dan pencapaian pribadi yang sebenarnya. Jangan terjebak dalam siklus tak berujung mencari perasaan gurih, padahal ada hidangan-hidangan lezat yang menunggu kita untuk menjelajahinya.

Jadi, mari kita berhenti merasa seperti mi instan yang harus selalu mencari tambahan bumbu. Mari kita hargai hidup ini dengan segala keindahan dan tantangannya. Ingatlah bahwa validasi yang sejati datang dari dalam diri kita sendiri. Jika kita bisa mencintai diri kita dengan tulus, menghargai pencapaian kita sendiri, dan memprioritaskan kebahagiaan yang lebih dalam, maka rasa hidup kita akan menjadi lebih gurih daripada sekadar mi instan yang cepat saji.

Gambar: Google

Editor: Bunga