Ekspektasi adalah harapan yang dibangun oleh mindset manusia yang cenderung bersifat utopis dan egosentris. Tapi, walaupun begitu, ekspektasi merupakan respon alami. Karena pada dasarnya manusia butuh harapan agar mereka tahu apa yang akan mereka perjuangkan dalam proses hidupnya. Namun kenapa banyak sumber kekecewaan justru berasal dari ekspekstasi? Apakah benar semakin tinggi ekspektasi maka semakin besar pula resiko untuk kecewa?

Seringkali ekspektasi manusia dibentuk tanpa menyadari pahitnya realita yang mungkin terjadi. Alam bawah sadar manusia dengan mudahnya terhipnotis seakan semua hal yang diharapkan akan terkabulkan dengan atau tanpa aksi yang nyata. Kita beranggapan bahwa ekspektasi selalu tentang yang baik-baik, selalu tentang hidup yang ideal, selalu tentang segala bentuk kesuksesan. Padahal ekspektasi tidak selalu tentang bahagia. Ada batas ukur mutlak yang harus kita sadari ketika membangun ekspektasi yang tinggi, yaitu realita.

Realita adalah tembok tinggi nan kokoh yang menjadi pembatas sekaligus mimpi buruk dari semua harapan manis ak.a ekspektasi yang kita buat. Sehingga butuh usaha dan kerja keras untuk mewujudkan semua mimpi dan harapan. Karena sekedar ekspektasi terlalu efisien untuk disebut sebagai cita-cita. Ekspektasi tanpa aksi bukanlah cara instan untuk bahagia, dan hanya akan mengantar kita pada jurang keputusasaan.

Berikut beberapa hal yang harus kita pahami untuk menepis kekecewaan yang disebabkan oleh romantisme ekspektasi adalah :

1. Ekspektasi tanpa Aksi adalah Omong Kosong

Hanya orang-orang malas yang berharap mimpinya jadi kenyataan, namun tidak berusaha untuk mewujudkannya. Maka upayakan setiap kali muncul harapan, imbangi dengan aksi nyata. Walaupun tidak semua harapan mampu terkabulkan, at least kita sudah berusaha. Dengan usaha itu banyak hal baru yang dapat dipelajari untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan sebelumnya.

2. Membentuk Ekspektasi yang Realistis

Ketika hendak membangun harapan, seyogyanya didahului dengan memahami kondisi realita dan mengintropeksi kapasitas diri. Agar setidaknya kita mengetahui dan mengantisipasi, hal-hal apa saja yang mungkin akan menjadi hambatan rintangan serta dapat memberikan solusi yang terbaik.

Membentuk ekspektasi yang menyesuaikan dengan kondisi realita akan meminimalisir rasa kecewa terhadap kegagalan. yang dialami ketika apa yang diharapkan tidak sesuai dengan hasil yang dicapai.

3. Jadikan Ekspektasi sebagai Sumber Motivasi untuk Bekerja Keras

Harapan beserta semangat untuk mencapainya adalah dua hal yang tak dapat dipisah, Sadar atau tidak, setiap orang yang memiliki ekspektasi pasti memiliki ambisi. Hanya saja kadang ambisi ini tidak diolah dengan baik, sehingga hanya memunculkan dilematika yang tidak pasti dalam upaya mewujudkannya. Ambisi inilah yang perlu sedikit dikontrol agar menjadi semangat dan motivasi dalam mewujudkan ekspektasi.

Mengontrolnya pun tidak mudah. Karena sebelumnya kita harus bisa membedakan antara ekspektasi rasional dan ekspektasi sekedar angan-angan belaka yang tidak disertai ambisi untuk mewujudkannya. Maka dari itu penting untuk seseorang yang memiliki ambisi untuk mengenal apakah ekspektasi ini patut dan rasional untuk diperjuangkan sekuat tenaga. Ataukah hanya akan berakhir pada kekecewaan.

4. Planning Setelah Mengalami Kegagalan.

Walaupun dengan segenap usaha, tak jarang juga ekspektasi yang diimpikan belum tercapai sepenuhnya. Maka sebaiknya sebelum hal-hal diluar dugaan itu terjadi, kita sudah siap dengan berbagai solusi konkret untuk mengatasi kegagalan sekaligus mengantisipasi rasa kecewa yang berlebihan. Kita tidak boleh menutup kemungkinan dengan beranggapan bahwa ekspektasi selalu tentang kehidupan yang utopis. Melainkan kita harus siap dan realistis dengan segala peluang kegagalan yang mungkin terjadi. Sehingga kita pun bisa menyusun strategi dengan berbagai macam solusi untuk mengantisipasinya.

5. Berdamai dengan Diri Sendiri

Ketika sedang mengalami kegagalan, anggaplah setiap manusia sudah diberikan jatah kesalahan dan kegagalannya masing-masing untuk dijadikan pelajaran dan juga pengalaman. Agar bisa lebih maju berkembang dari sebelumnya. Jangan berlarut-larut dengan penyesalan dan kekecewaan. Karena kegagalan dan kekurangan sesungguhnya anugerah yang diberikan Tuhan agar manusia tidak sombong, dan saling melengkapi satu sama lain. Alangkah baiknya jika kegagalan dan kekurangan ini dijadikan motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih hebat lagi. Sehingga bukan hanya melejitkan potensi, tapi bahkan mampu menciptakan potensi yang baru. Sampai potensi-potensi itu dapat menutupi sekian banyak kekurangan yang ada dan kesalahan yang pernah dilakukan.

6. Mengenali Kesalahan dan Kekurangan

Banyak sumber kekecewaan dan keputus asaan adalah karena tidak mengenali diri sendiri, di mana letak kesalahan, di mana letak kekurangan yang ada pada pribadi seseorang. Kebanyakan dari kita hanya meratapi kesedihan atas dasar depresi. Masalah seakan tak ada lagi solusi. Padahal, jika sedari awal kita menyadari potensi beserta kekurangan-kekurangannya. Maka, kita bisa meminimalisir kegagalan dan memperbesar peluang keberhasilan dengan mengenali kesalahan dan kekurangan diri. Serta menetapkan ekspektasi yang sesuai dengan kemampuan potensi. sehingga kita pun bisa menyelaraskan antara usaha, kekurangan, kesalahan, potensi, dan peluang keberhasilan. Dengan begitu persentase kegagalan dapat ditekan.

7. Bahagia dengan Cara yang Instan Tidak Akan Bertahan Lama.

Seringkali ekspektasi terbentuk berdasarkan stimulus otak yang menginginkan kebahagiaan dengan cara yang instan, dan hal inilah yang disebut egoisme. Bahagia dengan segala effortnya bukan untuk memenuhi ego manusia yang terkadang membutakan. Tidak ada jalan pintas untuk menuju kesuksesan, jika ada maka itu bukan sukses, melainkan hanya bagian kecil dari keberhasilan sebuah proses yang belum tuntas. Mimpi-mimpi besar membutuhkan proses yang besar pula. Dan  termasuk makna proses di sini ialah usaha, gagal, berhasil, sedih, pahit, manis, dewasa, dan segala macamnya. Bedakan antara efisiensi dan egoisme dalam berproses. Efisiensi disusun secara rasional dan realistis, sedangkan egoisme adalah defensif terhadap kebutuhan diri sendiri.

Tujuh hal yang seharusnya bisa dijadikan notice bersama, bahwa meromantisasi Ekspektasi bukan hal yang selamanya akan baik. Perlu penyelarasan antara idealis dan realita disekitarnya. Semangat, gengs!

Editor : Faiz

Gambar : Pexels