Di balik ketenangan yang saya tampakkan sebenarnya saya sedang memikirkan sebuah kekhawatiran yang dibalut ketakutan, tentang pertanyaan yang sering kali muncul untuk saya tanyakan pada diri sendiri meski hanya saya yang tau jawabannya. Hehe

Sebuah pertanyaan, kenapa masih gini-gini aja? Tugas kuliah dikerjakan sebisanya, bahkan kalau bisa yang penting selesai, tidak peduli dengan aturan copy paste yang baik dan benar, memanfaatkan sistem salin tempel dalam sekejap, lebih parahnya lagi berprinsip yang penting hadir diruang online, setidaknya sampai dosen mengucap salam, yang itu menandakan kelas telah usai. Sungguh membosankan!

Wahai milenial semester lima apa kalian juga sama? Sering merasa kuliah tidak dapat apa-apa? Atau hanya manusia-manusia seperti saya saja yang merasakannya? Entahlah, ini sungguh membebani pikiran.   

Tapi, menyalahkan keadaan yang mengharuskan kita kuliah online bukanlah satu-satu nya jalan. Siapa juga yang mau berada dikondisi seperti sekarang? Instansi pendidikan pun sudah sedemikian rupa memutar otak untuk tidak hanya tetap bisa bertahan di tengah pandemi ini. Tapi, juga mengatur bagaimana caranya agar perkuliahan tetep efisien.

Apa boleh buat jika yang berjuang hanya sepihak? sudah seperti perasaan yang tidak menemui balasan. Seperti itulah gambarannya, jika kebijakan tak didukung kesadaran. Sebenarnya semuanya hanya perlu bekerja sama, pemerintah, kampus dan mahasiswa. Dengan cara memaksimalkan tugasnya masing-masing, agar semua berjalan beriringan!.

Misteri Bernama Skripsi

Huh sudahlah, bukannya masa jabatanmu sebagai mahasiswa rebahan akan segera selesai, tapi tunggu! Ada lompatan besar yang menguras pikiran. Dia bernama “Skripsi”, syarat untuk kau meninggalkan universitas secara resmi.

Mengagetkan bukan? Saya yang terbiasa rebahan dan main dengan teman, tiba-tiba harus mencari judul untuk penelitian sebagai tugas akhir. Bagi semester lima, ini bukan terlalu dini untuk memikirkan. Ingatlah, bukankah kita sudah mengenal sifat waktu yang begitu cepat berjalan? Dan harus nya kita belajar untuk lebih siap menghadapi keadaan!

Ditambah lagi, bagi kamu yang memiliki teman, sahabat atau tetangga yang saat ini semester tujuh. Dijamin kamu juga akan ikut bingung ketika mereka mengeluhkan tentang latar belakang masalah yang ia kerjakan, atau mencari metode apa yang tepat untuk penelitian.

Ini akan semakin membuat otakmu bekerja lebih keras, dan bersantai tidak lagi senikmat dahulu, ya. Mungkin satu-satunya pikiran yang terlintas adalah “Bagaimana dengan saya nanti?”. Segala persiapan rasanya ingin sekali dilakukan. Tapi, lagi-lagi kemalasan lebih berhasil mengambil peran.

Tanggung Jawab Organisasi

Tak berhenti disitu, saya yang sok-sok an ini memilih tidak hanya fokus di bidang akademik. Sehingga beban yang ikut memperkeruh pikiran mahasiswa seperti saya ini adalah estafet kepemimpinan sebuah organisasi. Ini terdengar lebih mengerikan bukan? Karena saat ini telah memasuki musim pergantian kepengurusan sebuah organisasi.

Disinilah kebimbangan sedang diuji, bagaimana tidak? Secara tak langsung kita akan dihadapkan dua pilihan, pertama fokus dengan perkulihan agar bisa cepet skripsian, atau mengambil peran di sebuah organisasi dengan konsekuensi harus benar-benar bijak dalam memanajemen waktu. Agar imbang dikeduanya, kuliah, dan organisasi.

Mengikuti Alur

Terkadang keputusan mengikuti alur adalah cara instan yang tepat untuk diambil, tapi bukan berarti itu bisa menjamin, karena banyak sekali hal yang mungkin perlu di atur, di rancang dan di list sesuai target yang ingin dicapai.

Konsekuensi mengambil keputusan dengan “ngalir saja” ternyata cukup berat, memang untuk saat ini bisa sedikit meringankan pikiran, tapi percayalah itu akan semakin menyulitkan kita dikemudian hari, kenapa demikian? Karena kita terkesan santai dan menyerahkan semua pada keadaan. Tapi ingatlah! Wahai milienialis yang mungkin mengalami cerita seperti penulis, mempersiapkan lebih baik dari pada mengabaikan!

Editor : Faiz