Kelahiran 90-an tentu familiar dengan anime Naruto. Saat ini, anime yang dibuat oleh Masashi Kishimoto telah tamat di episode 500. Meskipun begitu, mantan asistennya membuat anime Boruto (anak Naruto) sebagai perpanjangan cerita ninja di Konoha. Dalam anime Boruto tersebut, digambarkan Sasuke sebagai salah satu orang penting yang turut menjaga Konoha.

Pencinta anime Naruto tentu mengenal sosok Sasuke. Anime Naruto yang menceritakan semangat perjuangannya agar dapat diakui oleh penduduk desa, tidak akan lepas dari kisah Sasuke juga. Sebab, tidak hanya mengejar cita-cita Naruto untuk menjadi hokage, tetapi Naruto juga terikat janji untuk menyelamatkan Sasuke.

Gambaran sosok Sasuke di anime Boruto berbanding terbalik dengan anime Naruto. Dalam anime Naruto, Sasuke bukanlah sosok yang memiliki semangat mengabdi kepada Konoha. Walaupun Sasuke diceritakan sebagai warga Konoha yang pintar, tetapi ia sangat membenci Konoha dan termasuk dalam kategori ninja buronan.

Apa yang membuat Sasuke membenci Konoha? Jawabannya adalah masa kecil Sasuke yang begitu pahit. Orang tua dan kerabat-kerabat Sasuke dibunuh oleh Itachi, kakaknya sendiri. Namun, setelah melakukan pencarian fakta yang panjang, ditemukan bahwa kelakuan kejam yang dilakukan Itachi merupakan instruksi atau kebijakan dari pemerintah Konoha.

Pemberlakuan Konoha inilah yang membuat Sasuke menjadi ninja yang sangat membenci Konoha, bahkan berniat untuk menghancurkan Konoha. Melihat fenome tersebut, penulis pun merasa ada kecocokan antara masa lalu Sasuke dengan nasib beberapa anak di Indonesia.

Saat ini, kita tahu bahwa Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Untuk menghadapi pandemi ini, berbagai kebijakan telah dikeluarkan pemerintah. Sampai saat tulisan ini dibuat, kebijakan terbaru yang diterapkan pemerintah adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Kebijakan PPKM yang terus diperpanjang mendapatkan kritikan dari masyarakat. Substansi PPKM yang dilaksanakan untuk menyelamatkan nyawa manusia dari infeksi virus, tetapi malah melupakan nyawa manusia yang dapat hilang karena kelaparan. Bahkan, dikabarkan saat ini, varian terbaru covid-19, yang lebih dikenal Omicron, sudah masuk di Indonesia.

Ribuan manusia dikabarkan meninggal akibat virus Covid-19. Di tengah kesedihan atas meninggalnya kerabat, ada sosok yang harus memikirkan bagaimana cara agar masih dapat hidup untuk hari esok.  Sosok tersebut tidak terkecuali ada anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya, sebelum ia terbiasa mencari nafkah.

Atas dasar itu, pemerintah harus memberikan perhatian kepada anak-anak yang yatim-piatu di tengah pandemi. Penulis takutkan ketika ini tidak menjadi perhatian pemerintah, maka anak-anak itu akan menjadi sosok Sasuke yang membenci Konoha. Hidup ditinggal orang tua, malah ditambah tidak bisa melaksanakan pemakaman seperti biasa, dan agenda layaknya takziah yang dibatasi karena kebijakan PPKM.

Pemerintah harus mendata orang-orang yang ditinggalkan korban ketika pandemi, terutana anak-anak. Karena tidak hanya bantuan sembako yang diperlukan mereka, tetapi pembinaan untuk siap meratapi dinamika kehidupan harus diperhatikan. Dengan demikian, anak-anak yatim-piatu tidak akan terjerumus terhadap kegitan non-produktif, bahkan yang bersifat kriminal.

Pembinaan ini dapat menjadi momentum pemerintah untuk meningkatkan nasionalisme mereka. Penulis teringat dengan gagasan Politea Plato dalam buku Filsafat Yunani Kuno karya Kees Bertens. Salah satu poin yang digagas dalam Politea ini adalah perkawinan. Perkawinan, menurut Plato, hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki harapan mempunyai keturunan baik.

Anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan akan dididik dan diasuh oleh negara sejak kecil. Orang tua tidak mengetahui siapa anaknya, anaknya juga tidak mengetahui siapa yang melahirkannya. Tidak mengenal keluarga, akan membuat loyalitas mereka terhadap negara lebih tinggi, apalagi negaralah yang telah mengasuh sejak kecil. Dari gagasan Plato itu, pemerintah bisa meniru dan memodifikasinya agar tidak menghilangkan nilai manusia sebagai makhluk sosial.

Pembinaan negara terhadap anak-anak yatim piatu dapat menumbuhkan nasionalisme lebih kuat dibanding anak yang dibina oleh orang tuanya. Tentu, pembinaan yang diberikan harus secara intensif dan berorientasi kepada kemandirian anak di masa depan. Dengan menjamin masa depan anak-anak, sama saja telah menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia.

Editor: Clean

Gambar: Google.com