Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, pertanyaan yang pasti terlontar adalah, “cita-citamu nanti apa?” Sebagai anak kecil yang masih polos, jawaban standar yang keluar ya kalau nggak dokter, polisi, guru, atau astronot. Cita-citanya pun tiap minggu ganti. Minggu ini jadi doker, minggu depan polisi, minggu depannya sudah lain lagi. Meskipun kenyataanya sangat sedikit yang akhirnya terwujud. Tapi ya namanya cita-cita, bebas dong mau jadi apa. Urusan terwujud atau nggak, ya itu urusan nanti.

Tapi saya adalah orang yang tak terlalu lama berada dalam fase tersebut. Dulu saya pernah ditanya tentang cita-cita saya. Ya saya jawab saja mau jadi astronot. Kelihatan keren kan, ke bulan, ketemu alien, dan naik UFO. Setidaknya begitu di bayangan saya sampai akhirnya saya dikenalkan dengan usic oleh saudara saya.

Pertama Kali Punya Cita-cita Jadi Musisi

Pertama kali saya tahu, dengar, dan mendalami musik benar-benar adalah ketika saya mendengarkan Peterpan album pertama, “Taman Langit.” Entah mengapa waktu itu saya pingin banget jadi seperti mereka. Padahal saya belum pernah lihat mereka, baik secara langsung atau di tv. Saya cuma dengar dari kaset. Tapi ya namanya suka, mau gimana lagi. Saya benar-benar ingin jadi seperti itu. Iya, jadi musisi. Bikin musik keren, manggung, banyak penggemar, punya pacar cantik, dan bisa jadi kaya.

Sejak saat itu, saya resmi mengubah cita-cita saya. Saat itu, kalau ditanya lagi tentang cita-cita saya, akan saya jawab, “Aku mau jadi musisi.” Saat itu saya masih duduk di sekolah dasar, sekitar kelas tiga atau empat. Saya bisa pastikan, saat itu hanya saya yang punya cita-cita musisi. Setidaknya di antara teman sekelas saya. Saya juga mulai belajar nyanyi dan main gitar, tapi bapak waktu itu belum mau membelikan gitar. Saya baru punya gitar empat tahun kemudian.

Saat itu, punya cita-cita jadi musisi masih dianggap keren. Kiblat kebanyakan orang adalah musisi-musisi besar yang manggung di tv tiap hari. Jadi, tiap saya ditanya cita-cita dan saya jawab mau jadi musisi, respons dari teman-teman pasti, “wihhhhh.” dan dibarengi tepuk tangan. Saat itu saya merasa bangga sekali punya cita-cita jadi musisi. Meskipun saya nggak tahu gimana nanti cara mewujudkannya.

Tidak Sekeren yang Dibayangkan

Sialnya bagi saya, cita-cita itu mengendap bertahun-tahun hingga saat ini. Saat ini, kalau ada yang bertanya lagi tentang cita-cita saya, saya akan tetap menjawab mau jadi musisi. Meskipun jawaban itu tidak terlalu membanggakan lagi seperti dulu. Ada banyak alasan mengapa jawaban saya tidak membanggakan lagi seperti dulu. Selain kiblat musisinya juga sudah berubah, alasan utamanya adalah menjadi musisi ternyata tidak se-keren yang dibayangkan.

Perkara kiblat musisinya yang berubah, ini memang cukup mengganggu. Bagi masyarakat awam, musisi bagus adalah musisi yang tampil di tv. Saya dulu juga mengamini hal itu. Setidaknya berkat acara musik seperti MTV yang memberikan ruang untuk musisi bagus tampil di tv. Tapi sekarang kok ya ambyar semua. Musisi yang langganan tampil di tv ya musisi yang itu-itu aja. Pokok ngepop dan mendayu-dayu. Ini juga yang membuat saya akhirnya berpikir bahwa saya gak akan jadi seperti musisi-musisi itu. Saya mau independen saja. Supaya musiknya lebih bebas dan nggak seperti itu.

Mau Jadi Musisi Independen? Hmmm……

Nah, urusan jadi musisi independen ini juga rumit. Selain arti dari independen ini juga sudah melenceng kemana-mana, jadi independen juga tak se-keren yang digaungkan anak-anak jaman sekarang. Konsekuensi jadi musisi yang independen ya harus melakukan semuanya sendiri. Mulai dari A sampai Z. Mulai dari beli alat, sewa studio buat latihan, bayar rekaman, sampai bayar biaya produksi album ya pakai uang sendiri. Kaya enggak, malah nombok biasanya. Tapi yang namanya independen, apa-apa ya harus bisa sendiri.

Saya coba tanya ke beberapa teman yang sudah jadi musisi duluan, tentang modal mereka nyemplung jadi musisi. Ketika saya diberi tahu nominal yang harus dikeluarkan mulai dari beli alat sampai produksi album, saya cukup kaget. Biaya untuk itu setidaknya bisa untuk bayar kuliah selama dua atau tiga semester. Soal rekaman, kadang mereka nggak bisa ambil hasil rekamannya karena belum bisa bayar, belum bisa melunasi. Masih ngutang.

Belum lagi soal manggung. Untuk musisi-musisi pemula yang independen, manggung juga hal yang tak menentu. Kadang ada, kadang ya nggak ada. Kalaupun ada, itu juga acara teman sendiri, dan tidak dibayar. Paling juga cuma dikasi minum sama makan. Berangkat sendiri, alat yang disediakan juga seadanya, setting-setting alat sendiri, dapat soundcheck juga untung-untungan, nggak punya kru lagi. Capeknya dobel.

Kalau antar personel lagi berantem juga repot. Dari masalah sepele seperti urusan sound gitar, atau vokal yang kurang kuat sampai urusan slek yang lebih besar daripada itu bisa bikin ujung-ujungnya band bubar. Mulai dari awal lagi, modal lagi, rugi lagi, berantem lagi, bubar lagi. Gitu aja terus.

Ya meskipun musisi-musisi independen seperti Danilla, Barasuara, sudah terlanjur besar, mereka pasti juga pernah mengalami hal yang sama seperti di atas. Siapa tahu dulu Danilla pernah nggak bisa latihan karena studionya ternyata penuh dan Iga Massardi pernah mutusin senar gitar waktu latihan di studio. Atau dulu Ari Lesmana pernah keserimpet kabel di studio karena mencak-mencak pas nyanyi. Mana tau?

.

Balik lagi soal cita-cita. Setelah tahu kenyataannya tak seindah bayangannya, saya agak pesimis dengan cita-cita saya ini. Mau jadi musisi ini modalnya juga gak sedikit. Udah modalnya gak sedikit, perjuangannya juga berat. Kalau perjuangannya berat, hasilnya juga nggak tentu. Udah hasilnya gak tentu, orang-orang malah nggak ada yang tahu. Belum kalau ternyata orang-orang nggak ada yang tahu, eh malah ditanya, “Apa sih kerjaanmu?” Dilematis boss. Mau jadi musisi kok gini amat sih…