Dunia masak – memasak sejak dahulu selalu identik dengan gender perempuan. Seakan perempuan ya harus bisa masak. Hidupnya di dapur, padahal di zaman era modern begini perempuan tidak melulu mengurus perkara menu makanan apa yang siap terhidang di meja makan. Hakikatnya memasak adalah life skill. Tentu tidak terpaut satu gender saja. Mau perempuan dan laki-laki dipersilahkan untuk mengasahnya.

Pikiran Warga Negara Indonesia tentang perempuan dan hasil masakan.

Mengubah pikiran seluruh warga negara Indonesia bahwa memasak ialah life skill dan hak segala gender merupakan PR besar. Salah mindset atau niat akan berdampak pada cara memandang suatu perspektif. Berikut contoh ketika seorang perempuan bisa memasak, yang mendapat pujian seperti ini “Begitu dong pinter memasak, pasti nanti semakin di sayang suami”. Atau sindiran sinis dan sadis bagi mereka yang belum dan tidak bisa memasak “Ih kamu tu perempuan kok ngga bisa masak sih? Terus suami kamu mau dimasakin apa?”

Parahnya ucapan – ucapan seperti contoh di atas tidak jarang terlontar oleh sesama perempuan. Sejatinya memasak bukanlah suatu kodrat Tuhan yang khusus di anugrahkan pada mahkuk perempuan saja. Memasak merupakan keterampilan atau kemampuan untuk bertahan hidup. Tidak ada sangkut paut akan menyenangkan atau menyedihkan pihak manapun, hanya karena suatu benda yang tersaji di atas piring.

Jangan sampai menghilangkan esensi penting dalam kegiatan memasak, yakni memasaklah untuk diri kita sendiri. Perkara ada yang menyenangi hasil masakan kita, itu bonus. Apabila ada yang tidak menyukai masakan kita, memang setiap orang memiliki selera yang berbeda. Mustahil kita mampu menyenangkan selera setiap insan.

Era Pandemi dan skill memasak

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarkat (PPKM) mulai di terapkan kembali pada pulau Jawa dan Bali. Pada era pandemi seperti ini kegiatan masak – memasak mulai di gandrungi setiap orang. Baik perempuan dan laki – laki, baik tua atau muda, bagi pecinta kegitan memasak dan bagi yang mulai belajar memasak. Sepertinya pandemi membuka mata hati beberapa warga bahwa skill memasak penting untuk dipunyai dan dipelajari. Berikut manfaat memasak sendiri di era pandemi:

1. Hasil masakan lebih sehat

Karean kita sendiri yang turun tangan memasak dan mengolah semua bahan beserta bumbunya, maka kita akan memilih bahan makanan dan bumbu yang berkuwalitas baik. Terlebih makanan sehat adalah yang utama di saat kondisi seperti ini. Kita juga berusaha memerhatikan dari segi kebersihan makanan. Mampu menerapkan gizi seimbang yang terkandung dalam makanan. Bisa memilih dan memilah bumbu alami seperti rimpang dan rempah dalam menambah cita rasa dan aroma. Kita mampu mengatur durasi waktu yang ideal dalam merebus atau memasak agar tidak hilang vitamin atau kandungan yang bergizi di dalamnya.

2. Bisa memangkas biaya atau hemat

Dengan memasak makanan sendiri sudah pasti memangkas biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi sehari – hari. Makanan sehat serta memiliki gizi tinggi tidak harus mahal. Seperti protein tempe dan tahu harganya lebih terjangkau dari pada telur, daging ayam dan daging sapi. Kemampuan mengatur keuangan sangat dibutuhkan sekarang. Kita juga tidak perlu membayar dua kali lipat untuk membayar makanan, cukup membayar bahan makanan beserta bumbunya.

Tidak menjadi masalah jika di antara perempuan ada yang lebih suka membeli atau sudah berlangganan catering, karena kesibukan selama work from home. Semua masih bergender perempuan, apakah dia makan dari hasil masakana sendiri atau tanpa masakan sendiri. Sebab memasak adalah life skill untuk bertahan hidup. Persoalan datang ketika perempuan tidak bisa memakan makanan yang dihidangkan.

Kemelekatan stigma kegiatan memasak dengan salah satu gender, harus segera dihapuskan. Karena bukan tidak mungkin akan muncul stigma buruk lainnya yang tumpang tindih antar sesama gender. Seperti laki – laki di larang menangis padahal laki – laki juga manusia sama seperti perempuan. Jadi memasak bukan kewajiban gender perempuan saja tapi tanggung jawab semua gender.