Dalam dunia sastra, ada satu keyakinan bahwa ketika seseorang membaca dan menikmati karya sastra, dia sedang menjalani laku katarsis. 

Menurut yang punya teori, katarsis mempunyai arti penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan. Kelegaan emosional terjadi setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis yang ada dalam suatu karya sastra. Proses penyucian diri seperti itu bagi hamba adalah cara untuk melepaskan diri dari penatnya dunia.

Penyuka Novel Realis

Hamba selalu suka novel-novel realis yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Cerita tentang rakyat jelata, kesusahan hidup, dan masalah-masalah duniawi ibarat air yang mensucikan. Ia membilas noda noda hitam yang ada pada diri.

Kali ini Danarto menyucikan hamba. Sastrawan yang namanya hamba kenal di ruang-ruang kelas kini hamba temui dalam wujud baris baris tulisannya. Buku yang membasuh jiwa itu berjudul ‘Ikan-ikan dari Laut Merah’. Lewat kumpulan cerpen bersampul merah itulah, ia mengajak hamba menyelami ide-ide Danarto yang konon katanya penuh nilai-nilai sufistik.

Danarto Pada Permulaan Cerpen

Danarto di permulaan cerpen mengajak pembaca untuk mengenali apa itu kematian. Bagi kita yang masih hidup, rasa-rasanya ngeri sekali mendengar kata mati. Kematian bagi orang-orang adalah akhir dari kehidupan. Tapi bagi Danarto, justru kematian adalah cara untuk mengenal diri sendiri. Dalam hal mengenal diri sendiri misalnya, jika ada manusia yang merasa suci, ia mungkin tidak pantas jadi malaikat. Sebab orang perlu dicuci dulu di neraka baru bisa mencapai surga. Sedangkan malaikat sendiri tidak pernah mencicipi neraka, apalagi berbuat dosa. Di sini Danarto mengajak pembacanya untuk merenungi sekali lagi nilai manusia di dunia.

Pada sebuah cerpennya yang lain, Danarto pernah berujar,

“kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. … dalam kematian bernafas lebih lega. Beban berat di hati terpunggah. Penderitaan hidup lenyap. Kematian telah memindahkan kesadaran ke alam lain. Kesedihan adalah penderitaan. Kematian bukan kesedihan. ” (cerpen Jantung Hati, Hlm 17)

Kematian yang membuat takut mereka yang masih hidup diputarbalikkan oleh Danarto sebagai sesuatu yang menyenangkan. Perasaan lega dan tanpa hambatan setelah mati bagi Danarto patut disyukuri sebab hidup di dunia beratnya minta ampun. Seakan-akan Danarto mencoba mengatakan jika hidup setelah kematian itu sejatinya tidak ada beban sama sekali. Oleh sebab itu, seorang manusia harus siap menghadapi kematian dengan tanpa beban.

Danarto Mengajak Percaya Kuasa Tuhan

Danarto mengajak pembacanya untuk percaya kepada kuasa tuhan yang sering menimbulkan tanda tanya. Tengoklah cerita sebuah keluarga yang hidup di atas sebuah bukit. Mereka tidak pernah kekurangan apa-apa. Hidup mereka tanpa cobaan sebab mereka berlaku lurus-lurus saja.

Mereka menikmati sekali apa-apa yang terjadi dalam kehidupan tanpa pernah bertanya kenapa sebab mereka percaya akan Allah Swt. Alangkah terkejutnya keluarga itu ketika diberi kiriman ikan-ikan yang jatuh dari langit dalam jumlah besar. Keluarga yang tidak pernah mempertanyakan takdir Tuhan ini menerima saja limpahan berkah dari-Nya tanpa mengetahui bahwa di bawah kaki bukit itu suatu kota sedang dijungkirbalikkan.

Novel Perjalanan Spiritual

Membaca karya Danarto juga bisa dianggap sebagai perjalanan spiritual. Kesan tersebut dapat ditangkap lewat cerpen O, Yerusalem! Bercerita soal perjalanan ke kota suci tiga agama samawi. Gereja Nativity, Masjidil Aqsha, dan Qubbat Al-Sakhrah disebutkan secara gamblang dalam cerita. Seakan mengajak pembacanya untuk turut mengalami perjalanan yang ditempuh oleh si tokoh dalam cerita. Imaji pembaca digugah lewat guratan rima ala Danarto dengan apik, hingga hamba sendiri merasa kesadaran spiritual meningkat.

Kesadaran Spiritual

Kesadaran spiritual pembaca kemudian akan tergugah ketika sampai di bagian pohon Zaqqum. Nama pohon yang tidak asing bagi umat muslim sebab diajarkan sejak dini melalui kelas-kelas TPQ. Pohon yang di akhir zaman akan menimbulkan kebingungan di antara manusia oleh Danarto diberikan gambaran yang cukup menarik.

Percaya Pohon Zaqqum

Ilmuwan yang penasaran dengan pohon Zaqqum yang melahap manusia ini dijaga betul agar dapat diteliti. Sedang masyarakat yang cemas dan frustasi melawan kehendak para ilmuwan tersebut. Seolah, Danarto ingin menyampaikan seperti inilah kondisi manusia di akhir zaman. Kebenaran dan kebatilan tidak ada bedanya. Hanya orang-orang terpilih saja yang dapat membedakan itu. 

Renik-renik cerita yang ditampilkan oleh Danarto dalam kumpulan cerpennya seolah ingin menunjukkan bahwa terkadang hidup ini adalah sebuah tanda tanya yang panjang. Segala tindak tanduk kita di dunia ini tidak akan ditemui jawabannya sebab nilai manusia ada di akhir. Maka dari itu, manusia hanya perlu terus berusaha dan percaya. Bagi hamba, membaca kumpulan cerpen ‘Ikan-Ikan dari Laut Merah’ seperti menambah keimanan kepada yang kuasa lewat karya tulis manusia.

***

Editor: Assalimi

Gambar: Penulis