Akhir-akhir ini, populisme dipandang sebagai satu fenomena yang negatif an sich. Sejak Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan tidak menginginkan populisme Islam berkembang di Indonesia, wacana tentang populisme bergulir begitu saja tanpa kritik. Secara tidak langsung, hal ini seperti ingin menutup kran saluran suara-suara kecil di pinggiran yang tidak mengerti bagaimana menggunakan bahasa sekuler dalam menjelaskan keberpihakan politik.
Misalnya, populisme Islam diartikan sebagai sebuah fenomena gerakan politik yang menggerakkan masyarakat atas nama agama—melawan elit. Meski, dalam tatanan normatif, kita masih bisa berdebat apakah politik yang dimaksud bersifat elektoral (pseudo politic) ataukah politik dalam artian yang lebih luas. Lebih jauh, seseorang juga dapat bersitegang apakah populisme selalu berkonotasi negatif atau malah sebaliknya.
Bahasa sekuler (yang dapat diterima oleh berbagai kalangan)—meminjam Habermas, hanya dipakai oleh sebagian kelompok yang telah terdidik secara intelektual. Masyarakat awam (bukan terpelajar secara akademik) tentu tidak bisa diharapkan memakai bahasa ini. Konsekuensi dari ketidakmampuan itu berakibat pada pilihan diksi; identitas keislaman yang sering kali muncul—ditambah secara sosiologis, fakta pengetahuan keislaman yang didapat melalui sekolah, pengajian dan obrolan-obrolan kecil sehari-hari masyarakat masih mengarah pada pengentalan identitas ‘Islam’ tersebut.
Laporan dari PPIM UIN Jakarta yang bekerja sama dengan Convey Indonesia tahun 2017 merilis bahwa pengetahuan keagamaan anak-anak di sekolah menunjukkan ke arah intoleransi; bahasa-bahasa agama yang menyempit. Sekitar 86-87% siswa dan guru di sekolah menyatakan setuju melarang keberadaan kelompok minoritas yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Opini tersebut diperoleh melalui proses belajar di sekolah selain juga disebabkan akses pengetahuan keagamaan melalui media sosial. Hal ini sedikitnya menjadi bukti pengentalan identitas dan bahasa-bahasa agama.
Fakta bahwa hampir tidak ada satu persoalan yang tidak disangkut-pautkan dengan agama di dalam konteks masyarakat kita adalah bukti ketidakmampuan menerjemahkan bahasa agama ke dalam bahasa sekuler dan doktrin agama ke dalam doktrin kemanusiaan yang lebih luas. Sebut saja, anggapan musibah tsunami, gempa, banjir atau longsor dilihat sebagai bentuk kemarahan Tuhan adalah secuil dari konteks pengetahuan normatif agama yang tumbuh. Ini direproduksi terus-menerus oleh agamawan. Dan nalar epistemik ceramah-ceramah agama di pinggiran masih memakai logika jenis ini.
Populisme Islam
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin menginginkan populisme Islam tidak berkembang di Indonesia? Sementara produksi ‘pengetahuan agama’ seperti tersebut di atas masih terus dipelihara dan dipupuk. Bukannya tidak berkembang, ia malah tumbuh subur dan merambat serta menjalar di musim penghujan nan deras.
Menghendaki populisme Islam tidak berkembang ibarat menembak tepat di kepala. Jika kita mencoba melihat lebih jernih pokok persoalannya, ada susunan struktur lebih besar yang menuntut untuk dijabarkan secara sistematis dan runut dibanding hanya menyalahkan secara serta-merta kemunculan fenomena populisme Islam. Penerangan soal fakta-fakta wajah politik-ekonomi, produksi pengetahuan keagamaan di grass-root, porsi bacaan sejarah, dan masih banyak yang lain menuntut segera digarap.
Dalam konteks yang lebih luas, lembaga negara (baca: kementerian) tidak menjadi semacam pengadilan; menyalahkan yang satu dan membenarkan lainnya—sambil lalu mencari kambing hitam. Kementerian Agama revolusi industri 4.0, kalau mau disebut begitu (meski saya tidak setuju dengan diksi ini), mesti melampaui pengkotakan dan logika sektarian sejak dalam dirinya.
Upaya menghentikan populisme Islam kemudian menjadi sebentuk utopia. Apalagi, identitas primordial (agama, ras, bangsa, sejarah) sebagai landasan dasar setiap gerakan populis adalah sifat mutlak yang tertanam. Dari sini, menggerus populisme-populisme kecil, bermakna sepotong otoritarianisme baru. Alih-alih keluar dari kutukan otoritarianisme lama, kita masuk ke praktek otoritarianisme baru dengan wajah yang tak jauh berbeda.
Produksi Pengetahuan
Sudahkah, misalnya, filsafat (sebagai disiplin ilmu) dalam kerja produksi pengetahuan memiliki porsi yang cukup dalam kurikulum sekolah menengah keagamaan kita? Sebelum jauh-jauh berbicara penghentian populisme Islam yang nyaris tidak mungkin. Mengingat ia adalah identitas, dan pengetahuan yang melekat pada bahasa di dalamnya terus menerus hidup.
Ruang transformasi bahasa hanya mungkin digarap saat diskursus atau epistemologi pengetahuan keagamaan bergeser, dari yang normatif ke pengetahuan historis-empirik. Pernyataan ‘populisme Islam selayaknya tidak berkembang’ adalah normatif. Jika digeser ia menjadi; mengapa selayaknya tidak berkembang? Faktor apa? Bagaimana menjelaskannya. Bagaimana benturannya dengan sejarah dan konteks sosial sekarang? Bagaimana jika dikembangkan saja populisme itu? Dan segudang pertanyaan-pertanyaan lain.
Bekerja menyederhanakan pandangan pada satu argumen saja yang ‘benar’ sering kali terjebak pada kemungkinan reduksi. Demikian, pernyataan dan argumen tersebut di atas seyogyanya tidak diterima begitu saja sebagai yang sah dan kredibel sebelum ia disidang di ruang-ruang pengadilan nalar dan meja akademik.
Produk pengetahuan turunan yang berkembang dari argumen itu masih layak diperdebatkan. Tidak ada argumen yang selesai. Di meja akademik, semua bergerak menjalani sebentuk ‘kemenjadian’. Kemudian, seluruh argumen dan teori adalah hipotesis. Hanya dengan cara itu transformasi epistemologis bahasa (baca: nalar) bisa dimungkinkan.
Jalan Tengah
Kemudian, upaya menggeser/membaca kembali sebuah konsep populisme yang terlanjur dipandang negatif oleh beberapa kelompok menemukan jalan baru ke arah yang positif. Dengan bahasa lain, sejatinya tidak ada yang salah dengan populisme, sebab negara pun pada hakikatnya adalah sebuah lembaga yang dibentuk atas dasar populisme (sebuah lembaga untuk kepentingan rakyat; kesamaan identitas, kesamaan nasib, dan lain-lain). Jika demikian, lalu apa yang salah dengan populisme?
Umat muslim tentu kesulitan menemukan bahasa sekuler yang empirik, sebagai akibat dari penetrasi pemikiran keagamaan melalui pengajian dan ceramah-ceramah agama sehari-hari.
Ini disebabkan, misalnya pertama, mereka tidak secara langsung mencerna informasi dari sumber utama pemikiran keagamaan. Umat muslim umumnya mendapatkannya melalui pengetahuan yang diproduksi oleh agamawan dalam interaksi sehari-hari (baca: hasil penafsiran) yang sering kali cenderung bias.
Kedua, ada stagnasi dalam cara melihat agamawan atas realitas sosial. Bahasa-bahasa yang dipakai lebih banyak normatif dan tidak memberikan porsi yang cukup bagi pengembangan logika dan nalar-empirik. Bahasa ketuhanan dan siksa menjadi pokok konstruk pikiran dalam melihat realitas sosial. Dalam konteks ini misalnya, kemungkinan terjadi apa yang disebut sebagai taqdis al-afkar al-dini (pengkultusan pemikiran keagamaan)oleh Arkoun tidak dapat dielakkan.
Ketiga, dorongan taqlidisme dan pendekatan indoktrinatif dalam ceramah, memaksa umat untuk menerima begitu saja apa yang tersampaikan sebagai kebenaran mutlak. Dicampur dengan bahasa personal commitment—meminjam bahasa Ian G. Barbour—dalam beragama memperparah produk pengetahuan yang, alih-alih mendekat dengan realitas sosial, malah sebaliknya, ia menjauh dan mengalienasi kesadaran logis masyarakat. Lambat laun, menjauhkannya juga dari pemecahan masalah yang efektif dan riil.
Implikasi terjauh dari kesadaran indoktrinatif itu, masyarakat tidak berpikir sesuai kebutuhan dan konteks masalahnya sendiri. Melainkan berpikir seragam—sementara realitas sosial bergerak sebaliknya; tidak seragam. Kenyataan ini, yang, juga relevan untuk pertanyaan mula-mula soal populisme.
Populisme Islam secara Asali
Sudahkah ia ditempatkan sesuai porsinya? Mengingat, populisme Islam, dalam pengertiannya yang asali adalah suara paling dasar dari masalah sosial dan geo-politik kini—hanya dengan bahasa yang berbeda dangan bahasa sekuler. Ia memang menunjukkan karakter ‘identitas’ agama, namun dengan pijakan awal kesadaran akan ketimpangan dan macetnya saluran dalam menampung suara-suara kepincangan dan ketidakadilan, misalnya.
Dengan kacamata ini kemudian populisme (Islam) selayaknya dilihat, agar tidak terjebak pada reduksi dan bias yang memperparah proses penyelesaian—negosiasi politik dalam berbangsa dan bernegara.
Yang penting, jangan berhenti bertanyaEinstein
Editor: Nirwansyah
Gambar: Kompasiana.com
Comments