Di tengah derasnya globalisasi, maraknya perkembangan teknologi dan informasi serta penggunaan media sosial, telah membuka banyak peluang sekaligus tantangan bagi perempuan dan kelompok minoritas gender lainnya yang salah satunya adalah KBGO.

Di satu sisi, teknologi digital memungkinkan pembentukan ruang-ruang yang bisa digunakan untuk mendorong kesetaraan gender. Namun, di sisi lain perkembangan teknologi digital terjadi dengan menyerap bias-bias gender di ranah luring, sehingga penggunaannya untuk mendorong kesetaraan gender menemui sejumlah tantangan.

Kekerasan Gender Online

Menurut SAFENet, istilah KBG merujuk pada definisi kekerasan berbasis gender oleh Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR). Yaitu, sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Ini termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, paksaan dan penghapusan kemerdekaan. Maka, yang dimaksud dengan KBGO adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO) atau KBG yang difasilitasi teknologi.

Selanjutnya, masih menurut SAFENet, Komnas Perempuan mealporkan ada peningkatan kekerasan berbasis gender online dari korban: 2017 (97 kasus dilaporkan), 2018 (97 kasus), 2019 (281 kasus), 2020 (659 kasus telah terjadi sampai Oktober). Demikian pula, SAFEnet telah menerima laporan KBGO dalam jumlah yang mengejutkan. Laporan tentang penyebaran konten intim secara non-konsensual telah meningkat sebesar 375% (169 kasus) dibandingkan dengan 2019 (45 kasus).

Menurut Lidwina Inge Nurtjahyo dalam theconversation.com menyebutkan, bahwa sebagian besar korban berasal dari generasi muda. Karena, sebagian besar yang menggunakan internet adalah anak muda, baik untuk bekerja maupun belajar. Dari aspek gender, mereka yang rentan menjadi korban adalah perempuan, yaitu 71%.

Beberapa Bentuk KBGO

Oleh karena itu, berikut merupakan jenis-jenis KBGO yang ditulis dalam Buku Saku Mengenal Dasar-Dasar KBGO yang disusun oleh PurpleCode Collective berdasarkan dari catatan pengaduan maupun pengamatan yang dilakukan sejak 2015:

1) Trolling, adalah kekerasan/pelecehan berupa penghinaan, makian, candaan, dan/atau komentar yang bermuatan seksis atau menyerang ketubuhan dan seksualitas, dalam rupa kata maupun gambar baik secara terbuka (ruang publik di internet) maupun secara tertutup atau pribadi (Direct Message/Private Message); 2) Revenge porn, adalah kekerasan yang terjadi ketika pelaku menyebarkan foto/video intim korban tanpa persetujuan/consent; 3) Online stalking, adalah kekerasan berupa penguntitan atau pengawasan di ranah digital dengan tujuan membuat tidak nyaman, bahkan lebih jauh untuk melakukan tindakan kekerasan secara offline;

4) Tech-Enabled Surveil Lance, adalah kekerasan berupa pengawasan dengan menggunakan teknologi digital (aplikasi atau software); 5) Doxing, adalah kekerasan berupa penyebaran informasi personal, seperti nama, alamat rumah, sekolah, tempat kerja, nomor telepon, no. identitas (misalnya KTP), informasi tentang keluarga, status kesehatan, dan informasi personal lainnya; 6) Outing, adalah kekerasan berupa pengungkapan secara publik identitas gender dan orientasi seksual seseorang tanpa consent atau persetujuan.

7) Impersonasi, adalah kekerasan berupa pembuatan akun/profil palsu oleh pelaku, yang seolah milik seseorang (korban), yang digunakan untuk mengunggah konten-konten ofensif, provokatif, subversif, ataupun seksual dengan tujuan merusak/mencemarkan nama baik dan memancing orang lain melakukan serangan bahkan kriminalisasi;

8) Peretasan, adalah kekerasan berupa intrusi, akses atau pengambilalihan akun (email, media sosial, aplikasi chat, situs) tanpa otorisasi pemilik dengan tujuan mencuri data, melanggar privasi, ataupun manipulasi berupa penyebaran informasi kepada orang lain menggunakan akun korban yang dapat membahayakan pemilik akun; 9) Pornografi, adalah kekerasan yang menjadikan korban sebagai objek pornografi dengan cara memaksa korban untuk melakukan tindakan/hubungan seksual dan merekamnya untuk diunggah di situs-situs pornografi;

*

10) Manipulasi foto dan video, adalah kekerasan berupa pemalsuan foto dan video seseorang (korban); 11) Honey trap, adalah kekerasan berupa dijebaknya korban oleh pelaku agar terlibat dalam relasi romantis/seksual yang berujung pada pemerasan; 12) Pornografi anak online, adalah kekerasan berupa eksploitasi anak untuk dijadikan objek materi pornografi (foto dan/atau video); 13) Cyber Grooming, adalah kekerasan di mana pelaku (biasanya orang dewasa) menyasar anak atau remaja dan membangun kedekatan emosional dan mendapatkan kepercayaan dari calon korbannya.

Terakhir adalah pemerasan. Pemerasan ini juga terbagi dua, yaitu Extortion, adalah kekerasan berupa ancaman dalam bentuk apapun untuk membuat korban melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku. Sedangkan sextortion, adalah kekerasan yang serupa dengan extortion, tetapi dalam bentuk yang melibatkan tindakan seksual

Kita bisa melakukan upaya sederhana dalam mencegah KBGO. Pertama, mengembangkan kesadaran akurat akan pentingnya perlindungan data pribadi. Kedua, terus memperkaya diri dengan ilmu agar struktur pengetahuan yang kita bangun menjadi lebih kuat mengenai informasi digital dan segala risiko yang ada di dalamnya sehingga kita sebagai pengguna mampu lebih bijak dalam menggunakan dan mengakses dunia maya/digital.

Editor: Nirwansyah