Kenali pertolongan pertama pada upaya bunuh diri.

Ada mendung yang amat gelap di jagad media sosial, setiap kali terjadi peristiwa bunuh diri yang terekspos. Warganet akan membicarakannya, membahas penyebabnya, hingga menelisik siapa pemicunya.

Jangankan seorang Chester Bennington, kalangan non seleb pun akan sangat diperhatikan oleh wargamet di era mulai meleknya kita akan perkara kesehatan mental. Apalagi jika mereka yang bunuh diri, meninggalkan jurnalnya di media sosial. Seperti yang dilakukan oleh saudari kita, Novia Widyasari dengan akunnya yang menggunakan nama samaran Aulia Dinarmara Putri R.

Setiap kali ada peristiwa bunuh diri yang terekspos, seperti biasa, masih ada golongan yang percaya bahwa bunuh diri terjadi akibat kurangnya iman. Ya wis, monggo. Berdebat dengan orang yang mengaku beriman dan dekat dengan para orang suci itu melelahkan. Sebagai pendosa, berdebat dengan mereka soal kesehatan mental seringnya hanya akan memicu masalah lain. Gangguan emosi misalnya.

Padahal, ada lho hal lain yang bisa dibicarakan yaitu mengenal tatalaksana pertolongan pertama pada upaya bunuh diri. Memang, tak bisa menolong yang sudah terlanjur bunuh diri. Tapi, setidaknya bisa jadi pedoman untuk siapa pun sebagai upaya preventif. Mungkin nggak akan berguna untuk diri sendiri, terutama jika diri sendiri juga punya kecenderungan untuk bunuh diri. Tapi, justru kita bisa memberikannya sebagai pengetahuan ke orang yang kita percaya akan bisa menolong kalau-kalau pikiran gelap soal bunuh diri muncul.

Pada akhir November 2021, Center For Public Mental Health, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (CPMH Psi UGM) kembali mengadakan kuliah umum. Temanya tentang Pertolongan Pertama (Psikologis) pada Upaya Bunuh Diri. Saya mengikuti webinar tersebut hanya karena ingin tahu, bisakah bunuh diri dicegah? Hingga akhir acara, saya tak bisa menyimpulkan bahwa bunuh diri pasti bisa dicegah. Apa yang terlanjur terjadi, sering kali di luar kendali manusia.

Tapi, nggak ada salahnya untuk mengetahui apa yang perlu dilakukan saat kita tahu ada orang yang berniat bunuh diri. Nggak harus jadi psikiater dan psikolog dulu untuk bisa menjadi penolong pertama (first aider), siapa pun boleh. Syaratnya, sudah mengerti materi PFA (Psychological First Aid), punya empati yang cukup, dan sadar akan kemampuan diri. Modul secara lengkap bisa diunduh di sini.

Pada prinsipnya, first aider diharapkan dapat melakukan 3 hal utama berikut:

#1 Lihat (Look)

Penolong diminta melihat gejala dan tanda yang ada. Salah satu gejalanya adalah ucapan dan kelakar tentang bunuh diri yang dipandang sebagai solusi untuk masalahnya. Kemudian diikuti dengan keingintahuannya mencari alat dan cara bunuh diri. Selain itu secara fisik terlihat dari redupnya binar mata. Lalu ada perubahan perilaku selama 3 bulan terakhir, baik itu perubahan minat atau pun sikap. Sering kali, seorang yang merencanakan bunuh diri, tiba-tiba meminta maaf ke orang-orang terdekatnya, berusaha berperilaku baik seakan ingin meninggalkan memori terbaik sebelum memutuskan mati.

#2 Dengarkan (Listen)

Saat orang terdekat mengutarakan pikiran tentang bunuh diri, meski hanya sekilas. Itulah saat yang tepat, kita hadir secara penuh untuk mendengarkannya. Ingat, mendengarkan, bukan mengotbahi. Meski, orang yang berniat bunuh diri biasanya tak terlalu mau terbuka. Mereka merahasiakan rencana, tapi mereka mengirimkan sinyal SOS. Bisa lewat unggahan di media sosial, Whatsapp stories, celetukan soal kematian yang diulang terus menerus, dan lain sebagainya. Tugas orang di sekitarnyalah untuk menangkap sinyal minta bantuan ini. Tak perlu menunggu sampai gejala seseorang menjadi semakin terlihat jelas dan serius. Karena saat sudah serius seringnya semua sudah terlambat. Bukankah kita berupaya mencegah terjadinya bunuh diri?

#3 Hubungkan (Link)

Penolong pertama harus menyisihkan sindrom heroik. Maka, setelah melihat dan mendengarkan, seorang penolong pertama wajib menghubungkan seseorang yang berencana bunuh diri tersebut dengan yang lebih mampu menolongnya. Bisa keluarganya, psikolog, psikiater, atau seseorang yang bisa hadir secara nyata. Misalnya, yang akan bunuh diri adalah teman di medsos, maka kita bisa menghubungkannya dengan ibu kosnya, keluarganya, atau psikolog dan psikiater terdekat.

Tiga hal tersebut, perlu dan wajib diketahui. Tak usah ragu saat akan memberikan pertolongan. Tapi lakukan dengan empati. Kita nggak ingin, apa yang trending di media dan media sosial menjadi pemantik keinginan bunuh diri. Kita ingin, lebih banyak yang aware soal kesehatan mental, bukan lebih banyak yang terinspirasi untuk menyelesaikan hidup. Dunia memang bukan tempat yang paling nyaman dan ramah. Tapi, kita bisa menjadi kawan yang baik dan hangat untuk siapa pun.

Untukmu yang pernah bertahan, semoga masih bisa bertahan, sekali lagi, sekali lagi.

Editor : Hiz

Foto : Pixabay