Beberapa waktu lalu, ketika berada di sebuah lobi rumah sakit, saya melihat ada seorang ibu yang menegur anaknya karena makan sambil berdiri. Uniknya larangan itu disampaikan dengan alasan irrasional atau mitos yang akan berdampak pada si anak. Dengan nada halus, si ibu berkata “nang, sudah dibilangin jangan makan sambil berdiri, nanti bisa berubah jadi binatang loh, mau dikatain seperti kuda?”.

Perkataan ibu itu membuat saya teringat dengan beberapa takhayul yang membersamai saya sewaktu kecil untuk pelarangan terhadap aktivitas tertentu.

Misalnya, kalau keluar rumah jangan sampe melewati magrib, nanti diculik wewe gombel. Jangan makan sambil tidur nanti bisa jadi ular. Atau menyapu lantai harus bersih biar istrinya gak kumisan.

Di samping itu, ketika hidup beberapa tahun di Flores, ada sebuah cerita rakyat yang menceritakan 3 orang dikutuk jadi pohon karena sering menoleh ke belakang saat melakukan sebuah perjalanan. Cerita tersebut kemudian menjadi penyebab pelarangan agar seseorang jangan sering-sering menoleh ke belakang ketika berjalan.

Dari Takhayul ke Mitos

Masih banyak lagi unsur-unsur takhayul di masyarakat yang menjadi sebuah konsensus untuk menjauhkan seseorang dari aktifitas yang dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial. Norma sosial yang ada di masyarakat merupakan hasil kontemplasi dari kultur dan kebudayaan sebuah masyarakat di masing-masing daerah. Norma-norma tersebut kemudian dikaitkan dengan unsur takhayul yang kemudian kita kenal dengan istilah mitos.

Seiring berjalannya waktu, mitos-mitos ini kita sadari sebagai cerita yang dibuat-buat hanya untuk melancarkan propaganda dalam mengontrol prilaku anggota masyarakat, terutama anak kecil. Mitos-mitos yang beredar di tengah masyarakat menjadi medium untuk menerapkan norma-norma yang telah disepakati.

Meski begitu, mitos-mitos yang ditanamkan oleh orang tua atau orang-orang dulu terhadap anak-anak, nyatanya menjadi begitu efektif. Pola pikir anak yang lebih mudah mendengarkan nasihat bernada mistis dan fantasi menjadikan larangan tersebut mudah diindahkan dalam aktifitas mereka sehari-hari.

Awalnya, ketika mereka menyetujui sebuah larangan, mereka akan berpatokan pada sisi fantasi dalam mitos tersebut. Ketakutan akan dihadapkan pada acaman-ancaman yang sifatnya takhayul, membuat mereka lama-kelamaan menghindari tindakan yang dianggap kurang baik menjadi sebuah kebiasaan.

Kontrol Sosial

Saat dewasa dan pemikiran rasional mulai mendominasi, mereka akhirnya sadar bahwa mitos-mitos yang disampaikan itu merupakan karangan yang dibuat-buat oleh orang-orang dulu. Namun, secara bersamaan mereka pun tahu bahwa mitos-mitos yang diciptakan itu punya alasan logis yang melatarbelakanginya.

Contohnya, pelarangan makan dan minum sambil berdiri atau sambil tidur. Dari kacamata medis, aktifitas tersebut memang tidak baik untuk kesehatan. Atau mitos tentang keluar rumah jangan sampe melewati magrib. Hal ini apabila ditinjau alasannya secara mendalam adalah karena waktu magrib adalah waktu ibadah, waktu untuk berkumpul dan bercengkrama dengan keluarga.

Kemudian tentang mitos 3 orang yang dikutuk menjadi sebuah pohon, kisah ini punya tujuan untuk menganjurkan seseorang untuk fokus menatap ke depan, jangan sering menoleh ke belakang karena berakibat akan menabrak sesuatu yang di depan. Bahkan lebih jauh, mitos ini pun mengindikasikan untuk cepat move on dan tidak terpuruk akibat cerita masa lalu. Karena akan berakibat pada keterpurukan yang berlarut-larut.

Mitos nyatanya punya fungsi yang logis dalam mengontrol prilaku seseorang agar kehidupannya lebih teratur. Jepang yang saat ini merupakan peradaban maju juga tetap menempatkan mitos di singgasana suci dalam berprilaku dan bersosialisasi. Kebersihan, kedisiplinan, kerukunan, serta etos kerja yang dimiliki oleh mereka dibangun dari pondasi mitos yang diciptakan leluhur mereka dulu.

Maka dari itu, kita patut bersyukur, keberagaman budaya yang ada di Indonesia menciptkan mitos-mitos yang nyatanya berguna bagi seseorang dalam berprilaku dan berkehidupan di lingkungan masyarakat.

Editor: Nirwansyah