Seiring berkembangnya teknologi dan majunya ilmu pengetahuan, tak dapat dipungkiri bahwa konflik antaragama masih marak terjadi. Konflik yang masih hangat di telinga kita adalah konflik pendirian rumah ibadah, pelarangan beribadah, hingga pembakaran-pembakaran tempat ibadah.
Munculnya undang-undang penistaan agama juga menjadi salah satu penyebab tingginya sensitivitas masyarakat terhadap perbedaan agama dan tradisi-tradisi agama. Kasus penistaan agama melonjak seketika seiring munculnya undang-undang ini. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi antaragama masih rendah.
Ironi jika kita mengingat bahwa jauh sebelum agama-agama masuk ke Indonesia, Indonesia telah hidup sebagai bangsa yang memiliki keragaman tradisi yang lekat dengan nilai-nilai toleransi.
Beragam bentuk toleransi
Toleransi ini diwujudkan melalui beragam cara. Masyarakat Bugis membumikan toleransi melalui penerapan prinsip siri’ dan pesse. Siri’ maksudnya adalah menghormati atau berempati kepada orang lain, sedangkan pesse maksudnya adalah solidaritas sosial, kesetiakawanan tanpa memandang golongan.
Ada juga toleransi ala Kabupaten Fakfak, yakni melalui filosofi Satu Tungku Tiga Batu. Satu Tungku Tiga Batu ini bermakna bahwa mereka berasal dari satu rumpun yang sama, terlepas dari agama apapun yang dianut saat ini—agama masyarakat Fakfak terbagi ke dalam agama Islam, Protestan, dan Katolik—.
Ada pula yang menanamkan nilai toleransi melalui makanan, seperti tradisi Woni di Manggarai dan tradisi Ngejot di Bali. Hal ini membuktikan bahwa sejatinya, Indonesia telah memiliki local wisdom untuk hidup rukun, salah satunya dengan menganut nilai-nilai toleransi yang diintegrasikan dengan prinsip hidup, hingga tradisi-tradisi.
Ngejot: Tradisi hari raya dan wujud toleransi antaragama
Ngejot, sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, merupakan salah satu tradisi di Bali yang memuat nilai toleransi. Bali, sebagai tempat yang sebagian besar masyarakatnya menganut agama Hindu hidup berdampingan dengan pemeluk agama Islam dan dijembatani melalui tradisi Ngejot. Kata “Ngejot”, dalam Bahasa Bali memiliki arti “memberi”. Senada dengan namanya, tradisi ini juga dilakukan dengan saling memberi makanan kepada tetangga sebagai ungkapan terima kasih.
Ngejot ini bisa dilakukan kapan saja, khususnya ketika kita memiliki hidangan yang tidak biasa, bahkan ketika kita dan tetangga kita memasak masakan yang sama, kita tetap terhitung melakukan Ngejot dengan bertukar makanan. Tetapi, seiring berjalannya waktu, Ngejot berkembang menjadi tradisi yang dilakukan pada saat hari raya.
Umat Hindu melaksanakan Ngejot ketika melaksanakan upacara atau hari raya, terutama ketika Nyepi, Galungan, dan Kuningan. Umat Hindu akan mengisi momen tersebut dengan memberikan makanan-makanan khas hari raya mereka ke tetangganya. Terkhusus kepada tetangga yang non-Hindu, biasanya mereka tidak akan Ngejot dari sembarang makanan. Mereka tidak akan mengambil dari sesajen yang digunakan untuk ritual, melainkan akan mengambil makanan khusus yang terdiri dari buah-buahan dan jajanan tradisional seperti jaje uli dan begine. Mereka juga tidak menyediakan daging, karena takut daging yang dihidangkan tidak halal. Maka, secara khusus, mereka akan menyediakan daging ayam dan biasanya ayam yang diberikan adalah ayam hidup, sehingga tetangganya yang muslim dapat menyembelih dan menyediakan sendiri ayam tersebut.
Begitupun umat muslim saat hari rayanya tiba, seperti Idulfitri dan Iduladha. Ditambah lagi, hidup sebagai minoritas, tentu akan terasa sangat sepi ketika hari raya tiba. Maka, bagi mereka yang tidak dapat mudik atau pulang kampung, Ngejot ini menjadi tradisi yang menyenangkan. Mereka dapat merayakan hari raya dengan berbagi atas nama persaudaraan dan kemanusiaan. Makanan yang diantarkan juga merupakan makanan-makanan khas lebaran seperti ketupat, opor, dan kue-kue lebaran.
Tak sekedar makanan
Masyarakat Bali memiliki kepercayaan bahwa bahwa makanan juga merupakan simbol dari keakraban. Jika kita menolak makanan yang telah diberikan, maka akan timbul malapetaka dan konflik. Sebaliknya, jika makanan tersebut diterima dengan baik, maka segala permusuhan akan hilang. Hal ini menandakan bahwa makanan bukan sekadar makanan saja, melainkan juga sebagai pembawa nilai budaya. Ngejot ini merupakan bukti bahwa masyatakat Bali mampu berdamai dengan perbedaan.
***
Tradisi Ngejot ini sepatutnya membuat kita sadar bahwa sejatinya, bangsa Indonesia memiliki local wisdom yang baik dan tumbuh dalam setiap napas masyarakatnya. Bangsa Indonesia telah memiliki prinsip hidup dan tradisi-tradisi yang membawa nilai-nilai toleransi. Maka dari itu, mari kita hidup bersama, berdamai dengan perbedaan, karena sejatinya, itulah identitas bangsa kita.
Penulis: Selfia Darmawati
Comments