Sebagai ibu kota Indonesia, Jakarta telah menjadi zona merah sebagai salah satu daerah yang berbahaya COVID-19. Bagaimana tidak, daerah yang luasnya kurang lebih 661,5 km2 ini dihuni lebih dari jutaan transmigran dari seluruh wilayah di Indonesia. Jakarta sebagai jantung perekonomian Indonesia menjadi tujuan utama transmigran tersebut untuk memperbaiki nasib mereka dari daerah asal. Melihat potensi penyebaran yang terjadi secara signifikan di Jakarta ini, pemerintah mengambil tindakan masif melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pemberlakuan PSBB ini dilaksakan dengan mengurangi mobilitas sosial, seperti diam di rumah saja, bekerja di rumah (work from home), pengurangan layanan transportasi umum, pengurangan jumlah penumpang kendaraan bermotor, sosial distancing, ditutupnya sarana-sarana ibadah, hingga layanan online food ditempat-tempat makan di Jakarta.Namun, taukah kamu kalau PSBB itu tidak berlaku bagi masyarakat Jakarta saat tradisi nyekar atau munggahan atau ziarah itu berlangsung?

Tradisi Munggahan Tetap Berlangsung

Di daerah Jakarta Pusat, tepatnya di Tempat Pemakanan Umum (TPU) Kawi-Kawi, Kecamatan Johat Baru. Orang-orang yang tinggal didaerah sekitar TPU banyak menjual berbagai kebutuhan untuk ritual munggahan, seperti bunga-bungaan dan air mawar. Tidak sedikit juga warga setempat yang melakukan ngoret atau suatu kegiatan yang dilakukan segelintir orang dengan membersihkan makam yang didatangi oleh sanak keluarga agar mendapatkan upah. Orang-orang yang melakukan ngoret biasanya hanya bermodalkan sapu lidi dan payung untuk melindungi si peziarah dari terpaan sinar matahari.

Faktanya, walaupun TPU Kawi-Kawi dekat dengan pos Check Point COVID-19, yang mana telah dijaga oleh aparat negara, masyarakat masih tetap nekat lohh melaksanakan tradisi munggahan atau nyekar atau ziarah ini. Mereka melakukan tradisi tersebut seperti tahun-tahun tanpa COVID: Membeli air mawar dan bunga kembang, memasuki pekarangan TPU, membersihkan makam, membaca surat Yasin, berdoa, kemudian pulang. Dan itu tidak hanya dilakukan oleh satu kepala keluarga. Bayangkan, jika satu kepala keluarga terdiri dari 3-4 orang. Sepuluh kepala keluarga saja sudah 30-40 orang. Haduh… Seolah-seolah COVID bukanlah ancaman besar bagi masyarakat.

Hal serupa juga terjadi di TPU Kemiri, daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Pelaksanaan tradisi munggahan di TPU Kemiri justru lebih parah. Tepat tanggal 25 Mei  kemarin, TPU Kemiri dipadati oleh berbagai kalangan masyarakat yang tetap nekat melakukan tradisi munggahan. Pukul 09.00 pagi saja, jalanan disepanjang trotoar TPU dipadati oleh kendaraan roda empat. Belum lagi kendaraan roda dua yang memehuni parkiran di sepanjang jalan masuk TPU. Jalan Rawamangun Muka Raya pagi itu macet karena keluar masuknya kendaraan roda empat yang silih berganti mencari tempat parkir. Kondisi ini diperparah dengan sosial distancing yang tidak dilakukan oleh masyarakat. Coba bayangkan, orang-orang dari berbagai daerah di Jakarta datang pada satu tempat pemakaman yang sama, beberapa bahkan tidak memakai masker penutup mulut, rela berdesak-desakkan demi bisa melaksanakan ziarah.

“Iye bang. Gimane yee. Udeh mendarah daging soalnya. Kalau kagak munggahan gimana gitu rasanya. Terus gue juga suka didatengin gitu sama bokap (bapak) kalau ga kemakamnya. Yaa.. pokoknya tergantung kepercayaan masing-masing ajalah bang”, Ujar Altaf Hussain, salah satu warga yang melakukan munggahan di TPU Kemiri (Hasil wawancara secara sederhana, Senin, 25 Mei 2020).

Pelaksanaan Munggahan di Tengah Pandemi

Jika kita melihat pada konteks budaya, munggahan atau ziarah merupakan tradisi yang hanya dilakukan oleh masyarakat Islam suku Sunda (masyarakat Jawa menyebutnya nyekar). Munggahan ini biasanya dilakukan oleh masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Kegiatan yang dilakukan selama munggahan pun bervariasi, tergantung masing-masing keluarga. Ada yang melakukannya dengan kumpul keluarga, memasak makanan, hingga ziarah ke makam sanak keluarga. Karena Jakarta didominasi orang-orang Jawa dan Sunda, maka tidak heran jika kita juga dapat menemukan tradisi munggahan di sudut-sudut kota Jakarta.

Sayangnya, selama masa pandemik tradisi tersebut bergeser. Mulanya kegiatan munggahan atau ziarah dilakukan pra-Ramadhan atau pra-Idul Fitri, khusus tahun ini tradisi munggahan dilaksanakan pasca-ramadhan atau pasca-idulfitri. Padahal, baik dilakukan pra ataupun pasca ramadhan, tradisi munggahan tetap memberikan dampak positif dan negatif bagi warga.

Dampak positifnya, masyarakat bisa melestarikan tradisi yang telah berlangsung secara turun temurun. Karena bagaimanapun, tradisi seperti ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Bahkan, beberapa orang menyatakan apabila tidak melakukan munggahan, dikhawatirkan orang yang didalam kubur tersebut tidak merasa tenang atau bahkan marah karena tidak didatangi.

Selain itu, dampak positif lainnya juga untuk menjaga silaturahmi terhadap sanak keluarga lain yang ingin melakukan munggahan secara bersama. Namun, jangan dilupakan bahwa dengan melakukan ziarah, masyarakat secara tidak langsung juga membuat penyebaran COVID-19 semakin meluas. Karena penyebaran COVID tidak hanya terjadi ketika kita melakukan interaksi, tetapi juga ketika kita bersentuhan dengan orang lain. Sehingga, nekatnya masyarakat terhadap tradisi munggahan ini tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga membahayakan orang-orang disekitarnya.

Jikapun tetap ingin melaksanakan tradisi tersebut, seharusnya masyarakat bisa mempertimbangkan baik buruknya tradisi tersebut sebelum dilakukan. Setidak-tidaknya tetap menjaga jarak dan tetap menggunakan masker untuk mengantisipasi penyebaran COVID, serta tetap melakukan pembersihan badan selepas pergi dari tempat pemakaman. Lagi pula, bukankah munggahan bisa dilakukan kapan saja? Bukankah munggahan tidak hanya dilakukan saat mendekati bulan ramadhan ataupun menjelang lebaran? Dan, bukankah ziarah itu hukumnya sunnah dalam Islam?

Jadi, alangkah baiknya ketika menjalani masa-masa sulit selama pandemik ini, masyarakat bisa menunda segala bentuk kegiatan tradisi, karena dampaknya tidak hanya untuk pemerintah, tetapi berimbas kepada masyarakat juga.

Pemerintah Harus Lebih Tegas

Selain itu, melihat pada fenomena ini juga seharusnya pemerintah bisa lebih ketat terhadap pemberlakukan PSBB. Pemberlakuan PSBB di Jakarta hanya berjalan pada beberapa sektor saja, misalnya lalu lintas dan ekonomi, tetapi tidak berlaku pada tradisi-tradisi sederhana yang ternyata bisa menjadi masalah yang lebih besar nantinya. Setidaknya, pemerintah menyediakan beberapa anggota aparat negara untuk berjaga dibeberapa titik daerah-daerah TPU di Jakarta, agar pelaksanaan munggahan atau nyekar ini bisa berjalan secara kondusif dan tertib.

Sepertinya pemerintah harus lebih tegas kepada aparat negara juga supaya mereka bisa melakukan tugasnya secara disiplin dan bijak. Jangan sampai masyarakat tetap sibuk dengan tradisinya, berpadat-padatan di jalan, nongkrong, tetapi aparatnya malah sibuk duduk-duduk, main gawai, dan minum kopi di pos check point. Ups…..