Berjamurnya warung kopi saat ini memang tak dapat dimungkiri. Selain itu, ngopi sudah menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia tak terkecuali bagi kalangan muda. Dulu, ngopi identik dilakukan oleh kalangan tua. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman dan budaya, hal itu berubah tanpa pengkategorisasian usia.

Memanusiakan Manusia

Makna ngopi yang paling populer adalah “ngolah pikir.” Barang tentu, saat ini sudah banyak istilah atau makna dari kata ngopi itu sendiri. Biasanya, hal tersebut sering dibarengi dengan perbincangan yang sangat beragam, mulai dari isu sosial, politik, ekonomi, hingga nilai-nilai hidup yang dibawakan secara ringan di warung kopi.

Lantas, apa hubungannya dengan judul di atas? Mungkin kita semua sering mendengar kata “memanusiakan manusia.” Akan tetapi, dalam realitanya hal tersebut masih nirimplementasi.

Dari segi istilah, “memanusiakan manusia” merupakan upaya untuk membuat manusia menjadi berbudaya atau berakal budi. Sederhananya, sesama manusia mesti saling menghargai, menghormati, dan tidak mengadili. Sehingga tidak ada tindakan yang merendahkan sebagai sesama makhluk Tuhan yang ditugaskan menjadi khalifah di muka bumi ini.

Dalam penciptaannya, semua hal yang dapat dilakukan manusia berasal dari anugerah kodrati, yakni pemberian sempurna sang Pencipta dalam bentuk tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan. Karena hal tersebut lah manusia menjadi makhluk yang istimewa. Ia dapat bertanya, memikirkan masa lalu dan masa depan serta banyak hal lainnya yang dapat dilakukan oleh manusia.

Hikmah Ngopi

Untuk saling menghargai, semua orang dapat melakukannya di mana saja, termasuk ketika berada di warung kopi. Misalnya, dengan mengucapkan terima kasih tatkala pelayan atau pemilik café mengantarkan minuman kepada pelanggannya. Memang hal tersebut terlihat sepele, namun banyak sekali dari kita lupa akan hal tersebut.

Padahal, ucapan terima kasih merupakan suatu wujud untuk menghargai seseorang yang bahkan sedari kecil kita sudah diajarkan akan hal tersebut ketika mendapatkan sesuatu dari orang lain. Lantas, kenapa kita lupa dan cenderung mengabaikan hal tersebut yang sebenarnya bagian terkecil dari proses untuk saling menghargai?

Dari hal di atas, yang patut kita petik hikmahnya adalah manusia seharusnya mampu untuk saling mengharagai satu sama lain. Selama kepintaran, keterdidikan, dan semua kelebihan yang dimiliki hanya untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri ataupun golongan tanpa memikirkan yang lainnya, berarti belum menjadi manusia utuh sebagaimana seharusnya. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Namun, hal tersebut sudah jarang dijumpai.

Akhirnya, penulis ingin menyampaikan bahwa dari hal kecil, misalnya ngopi kita bisa menemukan makna atau nilai-nilai kehidupan yang tersirat di dalamnya. Perlu di ingat juga, jangan sampai ketika sudah duduk ngopi bersama di satu meja, lalu kita di sibukkan oleh gawai masing-masing sebagaimana yang sering ditemui saat ini. Maka temukanlah makna dari setiap hal yang kita kerjakan.

Editor: Nirwansyah