Banyak orang meluapkan patah hati di media sosial. Orang-orang seperti ini kalau bukan dibilang cengeng, lemah, cemen, ya, bucin. Padahal tidak selamanya dan tidak semuanya seperti itu.
***
Patah hati itu wajar, galau itu wajar, semua pernah mengalaminya. Cara mengekspresikannya pun berbeda-beda. Ada yang pergi liburan sekadar merefleksikan patah hati. Ada yang suka menyendiri. Ada yang suka cari keramaian. Ada pula yang suka menyendiri di keramaian. Ada juga cara paling umum dilakukan, ya, curhat di media sosial. Bisa berupa status, puisi, Cerpen, dan sebagainya.
Contoh: “Logika mengajak berhenti, tapi hati ingin berjuang sekali lagi” sambil pasang foto liburan, foto sendiri di warkop, atau paling tidak foto kasur doang.
Kendati demikian, ada saja orang yang suka nyinyir. Bukan patah hatinya, tapi ke statusnya (Curhatannya). Dibilang titisan Mario Teguh lah, dibilang laki-laki cemen, perempuan terlalu cengeng, atau Bucin (budak cinta).
Apalagi istilah Bucin ini. Sejak kakak-beradik, Andovi dan Jovi, memunculkan istilah Bucin di kanal Youtube mereka, orang-orang yang suka mengilustrasikan patah hatinya lewat kata-kata jadi sering dikatain Bucin, Bucin, Bucin.
Padahal, tidak selamanya dan tidak semuanya begitu. Tidak semua yang ditulis itu berasal dari pengalaman pribadi. Banyak potret yang bisa jadi bahan bakar dalam memainkan kata-kata. Bisa dari kenangan orang lain, patah hati orang lain, menonton film, membaca buku, mendengar lagu, dan masih banyak.
Andai mereka tahu. Mengilustrasikan patah hati lewat kata-kata, sebenarnya, tidaklah gampang. Butuh radiator pendingin logika dan hati supaya tepat memilih kata-kata untuk dituangkan ke dalam tulisan sebelum jadi status. Butuh mesin pemicu kepekaan agar berhasil menyisipkan rasa ke dalam tulisan.
Ini lebih dari perkara mood-badmood. Makanya, hanya orang-orang yang profesional dalam hal patah hati yang bisa begini. Dan justru karena profesionalitasnya, patah hati bisa digubah ke berbagai macam karya sastra. Produktif, bukan?
Sebelum kita menghakimi seseorang dengan titel bucin, cengeng, lemah, cemen dan sebangsanya, ada baiknya kita tahu dulu motif apa di balik curhatannya itu. Seperti pesan salah satu ulama: jika kamu melihat kemungkaran jangan langsung menghakiminya kafir, siapa tahu ada alasan tertentu mengapa kemungkaran itu terjadi.
Nah, berikut ini 3 alasan mengapa tingkat produktifitas seseorang curhat di medsos terbilang cukup tinggi.
Survive dari patah hati
Beban yang tertanam dalam hati terasa plong seketika bila mencurahkannya kepada orang-orang terdekat seperti orangtua, keluarga, maupun sahabat terdekat. Namun, bagaimana jika orang-orang ini jauh atau tidak cakap dalam menjadi teman curhat?
Soal patah hati, misalnya. Biasanya ada orang yang memberikan saran sekaligus membuka peluang untuk patah lebih banyak. Kedengarannya sangat bijak padahal mengandung bisa beracun. Atau malah membuat psikologi seseorang menjadi terpuruk karena sikap keras yang ditunjukkan lewat kata-kata (no respect).
Disinilah kehadiran media sosial dibutuhkan. Ya, meskipun tak selamanya curhat di media sosial bisa memberikan solusi terbaik. Ada kalanya sebaliknya. Akan tetapi, orang justru lebih lega saat bebannya berhasil dicurhatkan di media sosial. Media sosial, meski cuma sebuah platform buatan manusia, sudah dianggap pendengar setia dan mampu membuatnya bertahan dari patah hati hingga menemukan jalan keluar.
Soal bullying dari penghuni lain sudah dianggap wajar. Manusiawi. Sebab seseorang punya dorongan menjadi negatif ketika orang lain sedang mengalami hal yang negatif juga. Namun sebaliknya, orang yang sedang patah juga akan menemukan dorongan bertumbuh lebih baik dari hal semacam itu.
Meluapkan emosi untuk mengontrol emosi
Mau dia sehebat dan sebijak apa pun, yang namanya orang lagi kesal pasti dia akan kesal. Dia pasti butuh ruang untuk memberikan reaksi terhadap rasa kesalnya. Dan ruang itu adalah media sosial.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengisi ruang itu. Misalnya dengan menuliskan apa yang sedang dirasakan, voice recording, menggambar, dan menceritakannya ke orang lain. Itulah salah satu proses membuat dirinya aware terhadap dirinya sendiri dan masalah yang dihadapi.
Membangun branding diri
Bisa jadi kata-kata patah hati itu alat untuk membangun branding diri. Ketika membaca tulisan-tulisan kita orang akan tahu kita punya kecakapan dari sisi pengetahuan dan emosional. Lalu tertarik berbagi “kesedihan” dengan kita.
Saya pribadi suka mengilutrasikan patah hati lewat media sosial. Entah yang saya alami atau orang lain rasakan. Tentu dengan permainan kata-kata bukan sekadar sembarang nulis. Anehnya, malah ada yang tertarik curhat balik karena statusnya kena ke dia.
Begitulah media sosial. Selain menjadi kamar atau kawasan mager virtual, dia juga berfungsi menjadi sarana silaturahmi virtual.
Lebih dari itu. Seorang penulis terkenal pernah bilang begini: “Media sosial itu seperti kamus; tempat menghimpun istilah atau kalimat yang nantinya berguna di kemudian hari. Misalnya, ketika kita menulis status ‘Mengistirahatkan aku dari kita’ di Facebook. Suatu saat kalimat itu bisa jadi bahan, jadi bumbu saat kita menulis.”
Seorang kawan juga pernah bilang begini: boleh jadi status-status patah hati di medsos itu jalan masuk rejeki. Entah rejeki dalam bentuk apa, hanya si empunya rejeki yang tahu. Turunnya bisa dari tangan kita sendiri atau dari tangan orang lain.
Dia sudah membuktikannya sendiri. Ratusan status patah hatinya di facebook dihimpun ke dalam satu dokumen dan dikirim ke salah satu penerbit. Entah bagaimana, sehimpun status patah hati itu sampai ke meja sastrawan favoritnya. Jadilah buku dan namanya jadi dikenal orang.
Tau Adelle, kan? Yang penyanyi itu. Dia juga dulu sempat mengalami pata hati bersama laki-laki yang sudah dia pacari selama18 bulan. Namun, agaknya Adelle berhasil survive dan menemukan sarana meluapkan emosinya lewat sebuah karya.
Jadilah lagu Sameone Like You, yang tak hanya sukses merajai tangga lagu internasional, tetapi diganjar Grammy Awards dan disejajarkan dengan Billy Jean milik Almarhum Michael Jackson sebagai lagu paling favorit 60 tahun terakhir.
Masih berani bilang orang yang suka tulis status patah hati atau curhat di medsos bucin, cengeng, atau cemen? wkwkwk
Terakhir. Saya ingin memberi disclaimer. Bagi yang suka curhat di media sosial: menghayalkan itu memang lebih mudah ketimbang mempraktikkan. Tidak usah berkhayal menjadi seperti Adelle atau kawan saya tadi. Tetap jadilah diri sendiri dan tetap berhati-hati bermedia sosial. Salah bermedia sosial, bisa kena mental, kawan.
Sebaliknya. Bagi penghuni (media sosial) lain, jika melihat ada yang curhat, tidak perlu mem-bully. Tidak perlu menghakimi bahwa dia bucin, cengeng, lemah, dan sebangasanya. Bisa jadi dia sedang berusaha survive, sedang butuh ruang meluapkan emosi.
Gunakanlah jempol Anda untuk memberi like atau komentar yang positif bukan posesif. Hitung-hitung jadi amal “jari”yah yang tidak akan terputus walaupun beberapa aplikasi media sosial nyaris ditutup Kominfo.
Editor: Saa
Gambar: Pexels
Comments