Sabtu lalu (06/02/2021), lini masa dihebohkan dengan peristiwa banjir yang warna airnya merah merekah di Kelurahan Jenggot, Kota Pekalongan. Mulai dari kanal berita lokal, regional, hingga nasional, semuanya kompak mengabarkan peristiwa ini. Bahkan, keesokan harinya saya menemukan salah satu kanal berita internasional yang turut memuat berita tentang banjir merah ini. Wah gila nih, nama Kota Pekalongan sampai dikenal masyarakat dunia.

Setelah dilakukan investigasi, ternyata muasal warna merah banjir ini datang dari pewarna batik yang tumpah dari wadahnya. Persisnya pewarna batik ini berjenis Remasol 8B, pewarna batik yang menurut pengusaha batik di kelurahan tersebut adalah pewarna yang tergolong cukup mahal. Untuk sebab pasti kenapa pewarna tersebut bisa tumpah masih dalam penyelidikan. Dugaan sementara karena tidak sengaja hanyut oleh banjir yang melanda wilayah tersebut.

Peristiwa Banjir Merah yang Sudah Jadi Lumrah

Saya yakin, peristiwa banjir merah ini bagi orang luar Pekalongan adalah peristiwa yang luar biasa “unik” (untuk menghaluskan diksi miris). Namun, bagi warga asli yang lahir ceprot, tumbuh dan berkembang di kota yang mendapat julukan Kota Batik ini, sejujurnya saya sama sekali tidak gumun dengan peristiwa ini. 

Bagaimana harus gumun? Lha wong saban hari pemandangan sungai di Pekalongan itu ya seperti banjir merah itu, kok. Malah terkadang tiap hari dalam seminggu warna sungainya bisa berubah-ubah. Kemarin kuning semu coklat, hari ini merah, esok hari hijau tosca. Ya saking sudah lumrahnya, saya jadi nggak heran. Kalaupun ada warga asli Pekalongan yang heran, itu sih akting belaka, mengikuti kehebohan dan keriuhan netizen di dunia maya. Mumpung kotanya sedang disorot, walaupun disorotnya karena keburukan ya. Ups.

Hampir seperempat abad hidup di Pekalongan, saya menyadari dan menyimpulkan bahwa Pekalongan, khususnya daerah kotamadya adalah daerah yang mustahil  mengamalkan slogan bahasa Jawa, “Kaline Resik, Rejekine Apik. Kaline Reged, Rejekine Seret” atau bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi, “Sungainya Bersih, Rejekinya Bagus. Sungainya Kotor, Rejekinya Susah”. Slogan yang barangkali akan ditemukan di spanduk pinggir sungai beberapa daerah tetangga Kota Pekalongan.

Kesimpulan ini saya ambil bukan tanpa alasan. Kondisi yang kontradiktif dengan slogan tersebut memang benar-benar terjadi di Kota Pekalongan. Betul, kondisi sungai yang kotor penuh limbah, justru menandakan bahwa perekenomian di Kota Pekalongan sedang baik-baik saja. Dan sebaliknya. 

Maklum, industri batik memang menjadi salah satu mata pencaharian terbanyak bagi warga Pekalongan. Mulai dari juragan, pedagang, penjahit, hingga buruh harian ikut berperan dalam produksi batik. Sebagai gambaran, kebutuhan batik nasional, 70 persennya disokong oleh produksi batik Kota Pekalongan. Bisa dibayangkan betapa vitalnya batik bagi ekonomi warga Kota Pekalongan bukan.

“Rejeki Apik, Kali Ora Resik”

Sayangnya, seperti yang saya sampaikan tadi, dampak lingkungan yang harus dibayar sangat bertolak belakang dengan baiknya dampak ekonomi. Lingkungan sungai hampir di seluruh penjuru Kota Pekalongan harus tercemar limbah batik. Selain warna-warni, air sungai yang sudah terpapar limbah batik inipun berbau menyengat dan tidak sedap. Betul-betul mengganggu pemandangan sekaligus penciuman.

Sebetulnya, sudah ada upaya untuk menanggulangi limbah batik ini. Salah satunya dengan membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) khusus limbah batik di beberapa tempat. Namun, jumlah IPAL yang ada saat ini belum mampu mengakomodasi dan mengolah seluruh limbah batik di Kota Pekalongan. Dampaknya, tentu saja limbah batik ini disalurkan ke sungai-sungai di sekitar Pekalongan.

Selain menegaskan bahwa slogan “Kaline Resik Rejekine Apik” betul-betul tidak bisa diamalkan di Kota Pekalongan, peristiwa banjir merah ini harusnya juga menyentil pihak pemangku kebijakan, dalam hal ini pemerintah kota untuk kembali meningkatkan perhatiannya pada masalah limbah ini. Ya walaupun penyebab warna merah pada air banjir tadi adalah pewarna yang tidak sengaja tumpah, tapi bisa dibayangkan loh, yang tidak sengaja tumpah saja bisa berdampak seluas itu. Apalagi, limbah batik yang secara sengaja hampir tiap hari disalurkan dan dibuang ke sungai. 

Terlebih, masalah limbah batik di Kota Pekalongan ini sudah sebetulnya sudah akut dan menahun. Tapi kok rasanya seperti dibiarkan tambah parah saja. Tidak ada kebijakan strategis yang tepat sasaran untuk mengatasi limbah. Atau jangan-jangan masalah limbah batik ini sengaja dibiarkan, untuk bahan kampanye lima tahunan misalnya. Ah, semoga itu hanya suudzon saya semata. 

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: Okezone News