Terpilihnya Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri baru yang menggantikan Jenderal Idham Azis ramai menjadi topik perbincangan masyarakat luas. Hal tersebut bukan tanpa alasan, mengingat sejumlah permasalahan yang belum tuntas bakal menjadi beban pekerjaan ketika ia menjabat. Permasalahan tersebut, antara lain penegakan hukum, pemberantasan terorisme, pemberantasan narkoba hingga perbaikan birokrasi di tubuh Polri.

Kapolri Baru

Ketika uji kelayakan atau fit and proper test dengan Komisi III DPR RI, Komjen Listyo Sigit Prabowo menegaskan komitmennya seputar penegakan hukum serta pendekatan yang humanis. Hal tersebut mendapat apresiasi sekaligus dukungan dari Komisi III DPR RI. Namun, di tengah banjirnya dukungan terhadap Komjen Listyo SIgit Prabowo, tidak sedikit masyarakat yang meragukan komitmennya sebagai calon Kapolri terutama dalam hal penegakan hukum.

Hal tersebut berangkat dari rekam jejaknya sebagai Kabareskrim. Komjen Listyo Sigit Prabowo dinilai gagal dalam mengungkap aktor intelektual dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Selain itu, peristiwa terbaru seputar penembakan 6 laskar FPI atau yang biasa dikenal dengan Peristiwa KM 50 juga masih belum menemukan titik terang. Tidak berhenti dalam kasus pelanggaran HAM, kasus penindakan seputar ujaran kebencian dan hoaks juga menjadi sorotan. Banyak yang menilai, Polri tebang pilih dalam penangkapan atau pengusutan kasus ujaran kebencian.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, banyak pihak yang skeptis akan pergantian Kapolri baru. Krisis kepercayaan publik terhadap Polri tentunya juga akan menjadi pekerjaan rumah bagi Komjen Listyo Sigit Prabowo.

Akan tetapi, di tengah sikap skeptis tersebut, tentunya kita patut bersyukur karena Polri pernah melahirkan sosok polisi yang berintegritas, tegas serta progresif. Ia adalah Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Sosok polisi jujur yang pernah disinggung Gus Dur. Lantas bagaimana kiprah Jenderal Hoegeng selama menjabat sebagai Kapolri?

Karir Hoegeng Iman Santoso

Sebelum menjabat sebagai Kapolri, tepatnya pada tahun 1968, Jenderal Hoegeng sempat menempati posisi Kepala Reskrim Kepolisian Daerah Sumatera Utara (1956), Kepala Djawatan Imigrasi (1961), Menteri Iuran Negara (1964), hingga Menteri Sekretaris Kabinet (1966).

Beberapa jabatan tersebut berhasil Hoegeng jalani dengan sejumlah gebrakan serta kebijakan dalam upaya perbaikian birokrasi. Seperti ketika Hoegeng menjabat sebagai Kepala Reskrim Kepolisian Daerah Sumater Utara, ia berhasil memberantas penyelundupan, perjudian serta korupsi yang sarat dengan konflik kepentingan.

Konflik kepentingan tersebut muncul di mana praktik penyelundupan, perjudian, serta korupsi memperoleh backing dari oknum aparat. Oknum-oknum aparat di daerah Sumatera Utara memperoleh akses untuk mendapat penghasilan tambahan dengan kooperatif terhadap pengusaha-pengusaha, tak terkecuali pengusaha dari Tiongkok. Oknum aparat tersebut tidak hanya terdiri dari angkatan bersenjata saja, melainkan juga dari pejabat kantor Pabean dan Bea Cukai.

Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Kepala Reskrim Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Hoegeng bertugas di Djawatan Imigrasi. Setelah resmi dilantik, Hoegeng selanjutnya mulai memperbaiki sistem prosedur pelayanann anggota Djawatan Imigrasi serta pembuatan visa dan paspor dengan menolak segala bentuk katebeleceatau nota khusus. Nota khusus atau katebelece dinilai sebagai bentuk nepotisme untuk memperoleh kemudahan dalam mendapatkan paspor.

Pemungutan pajak tersebut apabila tidak dilakukan pengawasan serta kontrol yang tegas, tentu dapat menimbulkan penyelewengan di berbagai bidang. Melihat hal tersebut, Hoegeng selanjutnya mengeluarkan Surat Inruksi No. B 238/1-12 Tahun 1966 yang menginstruksikan kepada pembantu menteri Direktur Jendral Pajak untuk mengambil tindakan/langkah-langkah yang tegas dalam menjalankan tugasnya untuk menertibkan proses pembayaran pajak.

Penertiban masalah pajak tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan pemungutan pajak. Juga penelitian serta penyelidikan terhadap pelanggaran-pelanggaran peraturan pajak negara yang berakibat penyelundupan pajak secara besar-besaran, mengadakan penuntutan terhadap para pelanggar pajak dan para penyelundup pajak. Di samping itu, mengambil langkah-langkah pengamanan, baik terhadap pelaksanaan maupun terhadap hasil pelaksanaan pemungutan pajak.

Dampak G30S/PKI

Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September menyebabkan perubahan dalam dunia politik Indonesia. Hal tersebut berakibat dengan pergantian atau perombakan sejumlah menteri di kabinet. Pada tahun 1966, Hoegeng dipindahkan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet. 

Selama menjabat sebagai Menteri Sekretaris Kabinet/Presidium, Hoegeng menerapkan sistem keterbukaan atau akuntabilitas dalam menjalankan tugasnya serta open door policy bagi bawahannya. Hal tersebut dipraktikkan langsung oleh Hoegeng dalam ruang kerjanya sebagai Menteri yang tidak memiliki sekat atau pembatas dengan staf-stafnya di gedung utama Setneg.

Ruangan kerja yang tidak memiliki sekat tersebut, memudahkan seluruh staf untuk mengetahui setiap pembicaraan Hoegeng dengan tamu-tamunya di dalam ruangan. Sebaliknya, Hoegeng juga dapat mengawasi secara langsung kinerja dari staf-stafnya di dalam ruangan sehingga keterbukaan dapat tercipta. Hal tersebut mampu menekan penyalahgunaan kekuasaan dalam bekerja.

Hoegeng Sebagai Kapolri

Hoegeng menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian pada tanggal 15 Mei 1968. Pada pelantikan tersebut, Presiden Soeharto menyampaikan bahwa sudah seharusnya Angkatan Kepolisian Republik Indonesa kembali pada pelaksanaan tugas pokoknya dalam hal pengakan hukum.

Saat Hoegeng menjabat sebagai Menpangak, terjadi perubahan istilah dalam struktur organisasi kepolisian. Hal tersebut terjadi setelah dikeluarkannya Kepres No. 52 Tahun 1969, yang sekaligus bertepatan ketika HUT Bhayangkara 1 Juli 1969.

Dalam Keputusan Presiden tersebut, istilah Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) diganti dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) serta istilah Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Negara Republik Indonesia diganti menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).

Pelayanan terhadap masyarakat menjadi agenda utama Hoegeng selaku Kapolri. Dalam merealisasikan usaha tersebut, Hoegeng melakukan pendekatan yang bersifat komunikatif serta dinamis. Hoegeng mampu menjalin hubungan baik dengan pers untuk mendengar keluh kesah masyarakat akar rumput. Hal tersebut tercermin dengan adanya buku harian terbuka Polri.

Dalam hal pemberantasan korupsi, Hoegeng menekankan adanya keterbukaaun atau akuntabilitas. Keterbukaan atau akuntabilitas, sebagai upaya pencegahan korupsi tersebut dimulai dengan dikeluarkannya Instruksi Kapolri kepada para pimpinan Komando Keamanan Pelabuhan untuk melaporkan kekayaan mereka.

Penyelundupan maupun penyalahgunaan kekuasaan, juga menjadi perhatian ketika Hoegeng menjabat sebagai Kapolri. Salah satu kasus yang pernah Hoegeng tangani hingga akhirnya terbongkar adalah kasus pemalsuan surat berharga bank dengan kerugian Rp 1.200.000.000,00. Tetapi kasus penyelundupan yang paling fenomenal adalah kasus Robby Tjahjadi. Kasus tersebut diduga melibatkan sejumlah elit politik dan juga aparat.

Kiprah dan sepak terjang Hoegeng Iman Santoso selama menjabat sebagai Kapolri bisa dijadikan teladan bagi kapolri selanjutnya. Bahwa polisi sebagai pengayom masyarakat sekaligus penegak hukum harus benar-benar menjamin kenyamanan sekaligus ketentraman di tengah masyarakat.

Editor: Nirwansyah