“Aku kangen denger suara all around youuu…!”
“Aku kangen deh sama Kang Cilok, eh salah, maksudnya kangen sama ciloknya hehe…”
“Aku kangen julid offline sama geng aku, selama di rumah jiwa julidku nggak bisa tersalurkan dengan baik.”
Pandemi
Saat ini, banyak beredar instagram story dan tweet yang membahas tentang daftar kegiatan yang akan dilakukan setelah pandemi ini berakhir. Ada yang ingin ngopi, main, naik gunung, liburan bareng keluarga, bahkan yang paling ekstrem ada yang pengen lari keliling monas. Ya ngga apa-apa sih, mau berenang di Laut Mati pakai pelampung pun juga terasa sah-sah saja sebagai bentuk apresiasi diri pasca menghadapi pandemi yang gila ini. Orang-orang sibuk membayangkan balas dendam terbaik mereka setelah sekian lama dikurung di rumah.
Sekilas, saya tersenyum membaca status-status tersebut sebelum akhirnya beberapa detik kemudian hanya bisa tersenyum getir. Ekspresi yang persis dilakukan oleh Yoon Se Ri ketika Kapten Ri berjanji akan menyusulnya di Seoul lalu hidup bahagia selamanya.
Saya membatin, orang-orang yang sudah punya segudang rencana indah ini, apakah sudah mengkalkulasi waktu dengan baik dalam pikiran mereka atau belum ya, seperti: kapan persisnya pandemi ini berakhir? Kapan persisnya kita bisa benar-benar merasa aman keluar rumah? Kapan persisnya mata rantai virus ini benar-benar terputus? Apakah mungkin tidak akan ada serangan pandemi gelombang kedua? Apakah semuanya masih lagi sama seperti sebelum pandemi ini terjadi? Atau bahkan yang lebih dramatis, apakah kita masih diberikan waktu untuk menunaikan janji bertemu?
Ah, kamu terlalu pesimis! Kita tetap harus optimis, selalu ada harapan untuk masa depan. Mungkin begitulah pendapat sebagian besar orang setelah membaca narasi-narasi menyedihkan saya sebelumnya. Saya sepakat bahwa kita harus optimis, namun saya pun ingin mengajukan pendapat bahwa untuk menjadi optimis pun memerlukan prasyarat. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersepakat bahwa optimisme ini dapat dilakukan jika seluruh masyarakat Indonesia kompak dan serius untuk mencegah penyebarannya.
Senada dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh IDI, seorang sejarawan terkenal asal Israel, Yuvah Noah Harari, dalam tulisannya yang dimuat di Financial Times dengan judul “The World After Coronavirus” juga menyatakan bahwa untuk memenangkan perang ini, terdapat beberapa opsi yang dapat diambil. Salah satunya adalah melalui kesadaran sipil. Harari mendefinisikan bahwa untuk mencapai kesadaran sipil, maka diperlukan masyarakat yang punya motivasi diri, tidak picik, dan tidak lugu. Sebab subjek yang berperan dalam pandemi adalah masyarakat itu sendiri.
Lhoh, terus tugas pemerintah ngapain, dong? Pemerintah kan agent of protection!
Jadi begini….
Pemerintah memang bertanggung jawab terhadap krisis ini, dan tentu kita sudah melihat di televisi usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah. Namun, saya juga dapat merasakan bahwa sebagian besar dari kita kecewa dengan usaha pemerintah yang kurang sigap dalam menangani masalah ini —dan memang begitu kenyataannya.
Secara pribadi, saya bahkan sudah sebel scrolling berita dan merasa capek menerima tsunami informasi yang tiada henti. Menggantungkan harapan dan kebahagiaan sebagai warga negara kepada negara memang tidak salah, tapi apa tidak capek menunggu? Menunggu kepastian dia saja kita sudah galau setengah mati, apalagi menunggu sesuatu yang menyangkut dengan hidup-mati dan masa depan kita sendiri.
Saya percaya, bahwa perihal masa depan tak pernah ada yang bisa memprediksi secara pasti. Masa depan tak pernah berjalan secara linear. Tapi, tentu pasti ada setitik ikhtiar yang bisa kita sumbangkan agar pandemi ini segera berakhir.
Maka agar angan-angan indah yang sudah kita susun sebelumnya tak hanya jadi mimpi, mengapa kita tidak coba mengupayakan usaha dimulai dari kesadaran diri kita sendiri? Untuk pertanyaan ini, kamu sudah punya dong jawabannya. Saya kan bukan Kemenkes yang harus ngajarin kamu cara cuci tangan yang benar atau kewajiban pakai masker setiap hari.
Agar kita bisa tetap mendengar “all around youu” berdengung di studio bioskop, jajan cilok, dan lari keliling monas tentunya.
Penulis : Laila Hanifah
Ilustrator: Ni’mal Maula
Comments