Layaknya pasangan hidup, begitu pula memilih rumah. Kata horang-horang punya rumah itu jodoh-jodohan seperti mendapatkan pasangan hidup. Bisa pindah-pindah juga. Dan saya telah merasakan dan membuktikan ucapan horang-horang itu.

Begini. Sejak menikah tercatat saya sudah beberapa kali pindah rumah. Tujuan saya pindah-pindah rumah tak lain tak bukan adalah mencari kenyamanan. (((N-Y-A-M-A-N))). Ya, nyaman yang saya cari, salah indikatornya adalah luas rumah dan tanah. Dengan nyaman akan terwujud kebahagiaan. Halaah, udah kayak coach-coah motivator yang nasehat-nasehatnya bikin heboh itu saja, ya, wqwqwq.

Namun karena keinginan kuat mencari kenyamanan, akhirnya saya memutuskan menjual rumah di ibukota dan membeli rumah di luar kota, di sebuah kabupaten di Jawa Barat. Setelah mencari di marketplace—diringi doa tentunya, saya pun mendapatkan rumah second di hook sebuah perumahan. Rerata rumah-rumahnya berukuran 36 x 64 m2, dan..yeayyy, ada kelebihan tanah 48 m2. Ahaaa, This is it! Luasnya lebih besar dibanding rumah saya di ibukota—yang  jalan di depan rumahnya hanya dapat dilewati motor saja—dengan harga yang sama pulak.

Tapi ternyata, oh ternyata, mempunyai rumah di hook itu tak selalu beruntung meski ada tanah yang berlebih. Mengapa saya katakan demikian? Meski posisi tempat tinggal di hook, seharusnya di awal saya perhatikan pula kontur tanahnya. Dan ndilalah kontur rumah saya menurun. Maklumlah perumahannya sudah lama ada, dan memang kontur tanah di daerah tersebut tak rata dan berbukit tapi dekat ke kali juga. Ini tak begitu saya perhatikan. Maklumlah pas lihat rumahnya pertama kali sudah seperti “Love at First Sight”. Biasa nggak ada garasi di Jakarta, pas lihat yang ini ada garasinya, masuk mobil pulak. Plus kelebihan tanah buat menyalurkan hobby memelihara ayam, haessh.

Akibat kontur tanah yang rendah tersebut, sangat terasa di saat hujan deras.  Pasir, tanah dan batu-batu kerikil mengalir deras ke teras rumah bersama derasnya hujan yang mencari permukaan terendah. Selokan depan tak mampu menampung debit air. Akibatnya saat hujan reda, onggokan tanah butiran pasir beserta serpihan batu kerikil tersebar merata di depan teras rumah saya. Duuh, nyesel sudah tak guna lagi. Sudah dibayar cash. Hiks.

Lalu derita berlanjut. Hunian yang berada di seberang blok, selalu memarkirkan mobilnya di depan rumah—tak pernah masuk garasi. Sedangkan lebar jalan di blok tersebut tidak memungkinkan dua mobil masuk bersamaan. Setiap keluarga besar saya dan istri datang, harus memarkirkan mobilnya di pinggir jalan luar blok. Saya harus menghela nafas dalam-dalam atas situasi ini. Pernah dipaksakan masuk, malah mobil mendapat kenangan goresan panjang di body mobil akibat gesekan dengan pot bunga depan rumah tetangga. Hadeeeh. Pupus sudah impian punya hunian masuk mobil yang nyaman.

Saya sempat googling Pasal 671 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer): “Jalan setapak, lorong atau jalan besar milik bersama dan beberapa tetangga, yang digunakan untuk jalan keluar bersama, tidak boleh dipindahkan, dirusak atau dipakai untuk keperluan lain dari tujuan yang telah ditetapkan, kecuali dengan izin semua yang berkepentingan. Dan pada pasal 1365 KUHPer: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Saya pun akhirnya mengadukannya persoalan ini ke pengurus RT setempat diperkuat dengan aturan hukum terkait. Namun memang saya tak mendapatkan win-win solution. Akhirnya saya memutuskan menjual kembali rumah tersebut. “Yang waras ngalah”, kata orang tua. Alhamdulillah tak terlalu lama waktu untuk menjualnya dan memperoleh ganti kembali rumah lainnya—yang kini saya tempati, berada di tengah-tengah blok perumahan. Nggak baru juga. Tapi tanahnya rata. Para tetangganya berusia lebih tua dari saya dan istri. Lebih momong dan hangat kata istri saya.

Jadi, pesan saya buat para milenial atau Sodara yang berkeinginan punya rumah second, jangan terlalu bergembira dulu. Cek ricek semuanya. Nggak hanya itu, tetangga pun disurvey hatinya kalau perlu. Pilah pilih dulu deh, daripada menyesal nantinya. Mungkin pengalaman saya kasuistik dan subyektif sifatnya, tapi mudah-mudahan jadi referensi mencari hunian second bagi newbie. Semangaat.