“Semua orang bilang kehamilan dan persalinan itu indah dan menyenangkan, tapi tidak sepenuhnya benar bagi wanita yang mengalaminya. Kehamilan itu melelahkan, dan persalinan itu kejam.” (Dikutip dari drakor Birthcare Center).

Bukan saya yang mengatakan demikian, melainkan Choi Hye-suk seorang pemilik postnatal care center kepada pasangan suami istri yang tak lain klien di center-nya sendiri. Center tersebut berupa pusat kesehatan yang membuka pelayanan khusus ibu pasca melahirkan beserta bayinya. Di sana orang tua baik yang newbie maupun berpengalaman mendapatkan bantuan berupa pelatihan merawat bayi, juga pemulihan sang ibu.

Yap, cerita tadi tidak saya dapatkan di dunia nyata. Quote tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak percakapan yang cukup relate dan menohok di drama Korea Birthcare Center. Meskipun budaya Korea dan Indonesia cukup berbeda, drama yang tayang pada November 2020 silam ini lumayan membikin saya terperangah dan menganggukkan kepala pada beberapa scene-nya.

Isu perempuan memang tak ada habisnya dibicarakan. Tidak cukup dengan stigma negatif yang melekat pada perempuan yang keluar malam, melajang sampai usia dewasa, bahkan tidak memiliki anak, label perihal kehidupan perempuan pasca melahirkan pun cukup memprihatinkan. Seperti yang digambarkan dalam Birthcare Center, tiga ibu yang memiliki latar belakang berbeda mempunyai lika-likunya masing-masing.

Dalam drama ini, Uhm Ji-won yang memerankan karakter Oh Hyun-jin adalah seorang wanita yang tengah berada di puncak karirnya. Namun pada saat yang sama, Hyun-jin harus melahirkan anak pertama pada usianya yang ke 40. Dia mulai mengalami keresahan karena pengalaman pertamanya melahirkan, ingin kembali pada pekerjaan yang dicintainya, dan beberapa penilaian orang lain mengenai dirinya yang “gagal” menjadi ibu. Di sinilah Birtcare Center mulai menyinggung pilihan wanita dan seorang ibu.

Sosok ibu yang lain yaitu Cho Eun-jeong yang diperankan oleh Park Ha-sun. Ia merupakan ibu rumah tangga yang benar-benar fokus mengurus seorang anak dan bayi yang baru ia lahirkan. Dalam kacamata orang di sekelilingnya, Eun-jeong adalah sosok ibu yang sebenar-benarnya. Nyatanya, Eun-jeong kerap kerepotan dan tidak sungguh bahagia.

Terakhir, Lee Roo-da. Ia ibu muda yang melahirkan sebelum menikah. Sosoknya yang nyentrik dan easy going membuatnya kerap dinilai tidak menyayangi sang buah hati. Lambat laun, Roo-da mulai membuka diri dan memahami keadaannya.

Sama halnya dengan tiga tokoh tadi, hal tersebut juga terjadi di masyarakat kita. Sosok wanita karir dinilai hanya mementingkan kepuasan pribadi dan mengesampingkan anak, terlebih saat usianya tidak lagi muda. Atau, ketika image seorang ibu sudah baik layaknya Eun-jeong, ia justru kelimpungan mencari bantuan karena takut image-nya rusak. Menjadi ibu muda dan memiliki anak di luar pernikahan juga kerap digunjingkan. Apalagi jika kehamilan tersebut tidak direncanakan.

Orang-orang selalu menilai benar dan salah. Hanya ada betul dan keliru ketika seorang ibu mulai memutuskan sesuatu terkait dirinya. Penilaian itu menjadi lebih paten dan kejam lagi jika menyangkut buah hati. Seperti pilihan menyusui, melanjutkan karir, menitipkan anak, dan sebagainya.

Label yang dibikin dan diberikan sembarangan tersebut mengikat dan membatasi gerak seorang ibu. Menjadi ibu untuk kali pertama dengan pengalaman yang benar-benar baru saja sudah cukup melelahkan, tak terbayang lagi jika ditambah dengan asumsi luar yang turut memperkeruh pikiran.

Saya sempat berbicara dengan salah seorang teman yang memutuskan memiliki anak di usia 24 tahun. Katanya, memiliki bayi itu menyenangkan tapi juga melelahkan. Akan tetapi yang jauh lebih melelahkan lagi yaitu masih harus mendengar kicauan orang-orang yang tak pernah melihat kebenarannya.

Betapapun seorang ibu melakukan sesuatu yang pada ukuran kita bisa jadi adalah kesalahan, ia tetaplah seorang perempuan yang memiliki dirinya. Seperti yang dikatakan Hyun-jin, “Meskipun aku seorang ibu, aku tetap seorang wanita, dan aku ingin dicintai”.