Saatnya Fans MU Berterima Kasih pada Ole

Sekali lagi fans Manchester United harus kecewa berat. Di Final UEFA Europa League (UEL) musim 2020/2021 beberapa hari lalu, MU kalah melawan Villareal lewat babak adu penalti. Seperti pengalaman yang sudah-sudah, banyak banget fans MU yang menyalahkan satu orang, siapa lagi kalau bukan Ole Gunnar Solksjaer.

Ole dibenci karena selama dua setengah musim mengasuh tim Setan Merah sama sekali belum mendapatkan trofi. Bahkan dalam 1,5 musim sebelumnya, tim asuhan Ole dianggap terkena kutukan semifinal. Di musim 2020/2021, kutukan semifinal terhapus dengan melenggangnya MU ke Final UEL. Namun, akhirnya MU kalah dan nirgelar.

Nah, daripada menghujat Ole, saya sendiri mencoba bersikap sebaliknya, bersikap positif meski skuad MU asuhan Ole masih belum cukup baik. Fans MU perlu berterima kasih pada Ole, karena setidaknya ada beberapa poin perkembangan positif selama eks-pemain berjulukan The Baby Face Assasins ini melatih Man United.

Membangun Tim

Apa yang terjadi pada MU selama dalam asuhan Sir Alex Ferguson adalah tentang konsistensi di level tertinggi. United identik dengan posisi tiga besar di Liga Primer Inggris (PL), bahkan dua besar alias pesaing gelar. Setelah era Fergie berakhir, konsistensi di level tertinggi menjadi satu hal yang hilang, siapapun pelatihnya. Mulai dari David Moyes, Louis van Gaal, bahkan juga The Special One Jose Mourinho.

Meskipun pasca-era Fergie tetap mendapat beberapa gelar, namun hingga saat ini MU nggak pernah juara PL, bahkan sempat mencicipi finish di peringkat 6 dan 7. Posisi yang nggak MU banget.

Kenyataan menyedihkan menandakan konsistensi hilang dari MU yang mengklaim diri sebagai tim terbesar di dunia. Belum cukup dengan itu, gonta-ganti pelatih sebanyak 3 kali dalam enam musim membuat suasana ruang ganti makin buruk. Belum lagi ditambah kedalaman skuad yang buruk.

Keadaan hancur-hancuran di atas adalah gambaran situasi saat Ole mengambil alih kursi kepelatihan United jelang pertengahan musim 2018/2019. Hingga saat ini, perkembangan di tubuh Man United terus terjadi.

Pada musim 2018/2019, Ole memulai masa kepelatihan sebagai caretaker dengan performa yang baik. Meski begitu, United kehabisan bensin di akhir musim hingga harus puas finish di posisi 6 klasemen dan terhenti langkahnya di perempat final Liga Champions UEFA (UCL).

Musim 2019/2020, Man United berhasil finish di peringkat 3 klasemen Liga. Sebuah perbaikan meski hanya mendapat 66 poin, identik dengan musim sebelumnya. Selain itu, MU mencapai Semifinal UEL sebelum dikalahkan oleh Sevilla.

Selanjutnya di musim 2021/2022 MU mengakhiri musim dengan 74 poin di Liga (peringkat 2). Lalu kalah di babak adu penalti dari Villareal di final UEL. Dalam dua musim penuh, Ole selalu berhasil membawa United finis di zona UCL.

Peningkatan secara umum dari musim ke musim ini yang membedakan Ole dengan van Gaal maupun Mourinho. Kedua pelatih membawa MU menjalani musim bak roller coaster di Liga, apalagi David Moyes yang dalam semusim langsung menjatuhkan marwah MU sebagai tim besar.

Strategi Transfer dan Situasi Ruang Ganti

Selanjutnya, satu poin penting yang dibawa Ole ke MU adalah strategi transfer yang tepat. Ole berhasil mendatangkan Harry Maguire yang nggak sebagus Van Dijk di Liverpool ataupun duet Dias-Laporte di Man City, namun harus diakui berperan besar terhadap performa MU. Tanpa Maguire, lini pertahanan MU hanya akan jadi bulan-bulanan serangan ganas dari tim-tim PL.

Setelah lini belakang cukup kuat, MU mendatangkan playmaker berkebangsaan Portugal Bruno Fernandes. Kehadiran Bruno terbukti tepat, bahkan menyelamatkan musim 2019/2020 hingga membawa lini depan MU makin trengginas.

Ole juga membawa angin segar dalam hal keadaan ruang ganti. Meskipun sempat dirasa kurang galak (apalagi dibandingkan dengan Fergie), Ole terbukti dapat membuat ruang ganti lebih adem sehingga keadaan tim lebih harmonis. Keadaan ruang ganti semacam ini sangat dibutuhkan dalam tim.

Di sisi lain, Ole juga tegas melego pemain yang tidak dibutuhkan tim, meskipun pemain tersebut berlabel bintang. Mulai dari Alexis Sanchez, Romelu Lukaku, Henrikh Mkhitaryan, Mateo Darmian, hingga Ashley Young dan Chris Smalling. Meskipun kadang disesali karena pemain-pemain tersebut mendapat gelar di klub barunya, namun kepergian pemain-pemain tersebut sepadan dengan konsistensi dalam tim yang mulai muncul setelahnya.

Berterima Kasih pada Ole

Fans MU boleh saja menuntut Ole segera memberikan gelar. Namun, sepatutnya fans MU yang telah puluhan tahun bergelimang trofi, sedikit bersabar. Karena menuntut banyak kadang membuat kita kurang bersyukur dan nggak objektif.

Terlebih lagi apa yang dirasakan MU belum ada apa-apanya dibanding penderitaan yang pernah dialami beberapa tim besar lain. Contohnya puasa gelar Liga Inggris Liverpool selama 30 tahun, AC Milan yang nggak merasakan UCL selama tujuh musim, ataupun Arsenal yang telah 16 tahun puasa gelar plus absen dari UCL selama lima musim terakhir, malah musim depan absen dari UEL maupun kompetisi Eropa terbaru bertajuk UEFA Europa Conference League (UECL atau ECL).

Terus, bagaimana dengan kekalahan di Final UEL beberapa hari lalu? Ada banyak faktor. Terutama terkait dengan rekor pertemuan melawan tim Spanyol di final kompetisi Eropa yang memang buruk. Apalagi kapten tim sekaligus tembok pertahanan Harry Maguire harus absen karena cedera. Ditambah lagi dengan Unai Emery yang terkenal menjadi spesialis UEL. Sampai jadi plesetan UEL = Unai Emery League.

Selain itu, faktor David De Gea yang memang gagal menepis penalti dalam lima tahun terakhir juga perlu jadi catatan. Namun, fans yang hanya pernah merasakan masa-masa bahagia tentu sulit memahami unsur taktikal yang menyajikan kenyataan pahit di depan mata ini.

Tentu nggak adil jika menilai keberhasilan hanya dari trofi. Karena dari puluhan atau bahkan ratusan tim yang berlaga dalam satu kompetisi, hanya satu tim yang menang setiap musimnya. Maka, penilaian keberhasilan juga perlu dilakukan dari sisi taktikal dan perkembangan positif sebuah tim secara keseluruhan. Dalam hal ini, perkembangan permainan dan stabilitas dalam tim sangat terasa di masa kepelatihan Ole.

Meski begitu, harus diakui bahwa nggak sepantasnya klub sebesar MU terlalu lama puasa gelar. Setidaknya, bersabarlah satu musim lagi sampai gelar datang pada waktu yang tepat.

Pada akhirnya kalaupun mau menghujat ya nggak apa-apa. Tapi, ya, jangan lupa sisakan ruang untuk berterima kasih pada Ole Gunnar Solksjaer. Pelatih yang membawa Manchester United mulai bangkit dari kehancuran pasca-pensiunnya Sir Alex.

Editor: Hiz
Gambar: Bola.com