Beberapa waktu sebelumnya, saya tidak sengaja membuka ulang catatan yang ditulis beberapa tahun lalu. Inti tulisan tersebut ialah salah jurusan bukan berarti salah masa depan. Kalimat itu saya peroleh dari seorang kakak tingkat ketika masih menjadi seorang maba (mahasiswa baru) kala itu. Kalimat sederhana yang cukup melekat dalam ingatan saya.

Salah Jurusan: Bukan Perkara Baru

Menjadi mahasiswa baru dengan presepsi salah memilih jurusan sangatlah berat. Hari-hari yang akan kita lalui seolah seperti di neraka. Jangankan menikmati dan ikhlas dalam menjalani hari selama di kampus, hidup saja rasaya seperti ditumpuki beban berton-ton yang harus dipikul ke mana-mana. Salah jurusan memang bukan perkara yang baru dan asing di kalangan mahasiswa. Pengalaman saya ketika sempat menjadi asisten laboratorium yang mengajar adik tingkat juga menemukan hal yang sama, di mana banyak dari mereka yang menganggap dirinya salah jurusan.

Salah jurusan, bagi mahasiswa baru utamanya, merupakan sebuah keadaan yang dituntut untuk segera dipahami dan dipikirkan jalan keluarnya. Apakah iya mau salah jurusan terus dan uring-uringan atau galau hingga nanti? Tentu tidak ingin, bukan? Lantas pertanyaan selanjutnya ialah, apa yang harus kita lakukan kalau salah jurusan?

Sebelum jauh berpikir ke arah ini, pastikan dulu kalian benar-benar salah jurusan atau hanya galau-galauan saja karena tidak bisa menghadapi masa transisi dari dunia sekolah ke dunia kampus. Hal ini penting, karena memang beralih dari siswa menjadi mahasiswa itu banyak hal yang berubah dan harus di hadapi.

Apabila kalian sudah yakin dengan diri kalian bahwa yang sedang kalian alami itu benar-benar salah jurusan, baru bisa bertanya pilihan apa yang harus kalian ambil? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu akan sangat dipengaruhi juga dengan kondisi kalian: apa yang membuat kalian pada akhirnya terjebak di jurusan yang salah? Paksaan orang tua, tidak diterima sebelumnya di jurusan yang dipilih sehingga asal mengambil jurusan yang sekarang, dan lain sebagainya. Apa pun alasannya, hal tersebut tentu merupakan sebuah problem yang setelah kita sadari harus kita cari solusinya.

Solusi

Pertama, belajar lagi dan ikut tes ulang di tahun ajaran baru. Pilihan ini barangkali tepat untuk kita yang menyadari bahwa telah salah jurusan dari awal. Pengalaman waktu maba dulu, saya menemui banyak sekali teman yang tiba-tiba menghilang dari peredaran, bukan bersembunyi, melainkan mereka memilih untuk pindah ke jurusan atau kampus lainnya. Ketika saya tanya alasannya, jawaban mereka adalah mereka merasa jurusan yang diambil sebelumnya sangat bertolak belakang dengan dirinya. Oleh sebab itu, sebelum melangkah lebih jauh dan membebani orang tua, maka mereka memilih untuk berpindah kampus ataupun jurusan.

Pilihan pertama ini mungkin akan sangat sesuai bagi kalian yang salah jurusannya sudah memasuki fase stadium fatal. Misalnya, passion kalian di bidang sosial memaksa atau dipaksakan kuliah di eksakta atau sebaliknya. Daripada menghamburkan uang orang tua dan tetap kesulitan atau kemungkinan lulus itu mustahil, lebih baik pindah dan sadar diri.

Akan tetapi, yang menjadi masalah dalam mengambil pilihan ini adalah kalau kita terkendala dengan ekonomi. Bagi yang orang tuanya bukan golongan menengah ke atas, tentu akan sangat sulit kalau harus mendaftar kuliah lagi. Kalau sudah begini, maka pilihannya ialah solusi ke dua, yakni bertahan dan menerima dengan ikhlas, berdamai dengan jurusan yang telah dipilih.

Kalimat tersebut mungkin terkesan klise dan sok bijak. Siapa sih yang mampu berdamai dengan mudah atas kesalahan dan kekecewaan dalam hidupnya? Tentunya sangat jarang sekali. Namun, berdamai dengan jurusan yang salah bukan lah hal yang salah, karena dengan demikian kita bisa menikmati kehidupan kita di bangku perkuliahan.

***

Pilihan ini bisa diambil apabila salah jurusannya tidak terlalu jauh dari konsep berpikir dan passion yang kita miliki. Bahasa sederhananya, salah jurusan yang  masih bisa ditolerir dan kita masih mampu menjalaninya. Pilihan ini juga barangkali menjadi satu-satunya pilihan yang bisa diambil ketika kita tidak dalam kondisi perekonomian yang bagus. Lagi pula, dengan bertahan di jurusan yang kalian anggap salah, bukan berarti hidup akan berantakan atau gagal ke depannya.

Setiap orang telah diberi peluang dan kesempatan memilih oleh Tuhan. Namun, di antara pilihan itu tidak jarang kita harus mengalami fase yang sulit dan akhirnya melakukan kesalahan seperti salah memilih jurusan.

Bagi kalian yang pada akhirnya memilih untuk bertahan di jurusan yang kalian anggap tidak sesuai ini, banyak hal yang bisa dilakukan seperti pengalaman saya ketika sempat merasa salah jurusan dulu. Bukan berarti selesai.

Kita di bangku perkuliahan diberikan banyak kesempatan untuk mampu mengeksplor diri kita. Tidak hanya berkutat dalam pembelajaran di kelas, sebagai mahasiswa kita diberi pilihan untuk bisa mengikuti kegiatan di UKM, organisasi, maupun komunitas-komunitas di luar kampus yang sesuai dengan passion masing-masing. Mulai lah dengan memahami diri, kira-kira di bidang apa passion kalian?

Jika sudah ketemu, maka dalami dan percayalah dengan passion yang kalian miliki. Sebab, banyak orang bekerja justru bukan berdasarkan jurusan yang diambilnya di perkuliahan dulu, melainkan berdasarkan kemampuan diri masing-masing. Apalagi zaman digital seperti sekarang, tidak sedikit orang yang memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dirinya.

Maka, meskipun jurusan yang kita pilih tidak sesuai keinginan, bukan berarti kita harus stagnan dan terpuruk. Kita bisa terbang bebas memilih kegiatan di luar perkuliahan yang mampu mengasah skill kita. Belajar dari kesalahan sebelumnya, kita bisa membuat perencanaan yang lebih matang berdasarkan kemampuan kita sehingga kita tahu mau menjadi apa kelak. Ingat, salah jurusan bukan berarti salah masa depan. 

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Roli Supiawan