Agama memiliki berbagai fungsi utama dalam kehidupan, baik itu destruktif maupun konstruktif. Agama bisa juga menjadi pengikat antara sesama manusia selain ikatan darah dan nasab. Oleh karena itu, agama dapat dijadikan sebagai medium untuk menemukan kesatuan, kerukunan atau kedamaian dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat hal ini salah satunya di Salatiga.

Di sisi lain, agama juga menjadi hijab atau penghalang persatuan dan memutus persaudaraan apabila terdapat pelanggaran tertentu, sehingga membahas mengenai agama ialah suatu tema yang susah diprediksi kesudahannya (Jamrah, 2015, h. 185). Terlepas dari kedua fungsi tersebut, pada hakikatnya tujuan manusia ialah mencari kedamaian hidup dengan tetap membutuhkan manusia lain. Hal itu dapat dicapai dengan sikap toleransi.

Toleransi

Secara bahasa toleransi berasal dari bahasa Inggris “toleration”, begitu pula jika dalam bahasa Arab yaitu altasamuh, yang berarti sikap menghargai, menghormati keyakinan orang lain tanpa persetujuan (Abdusami dalam Utami, 2018, h. 23). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi berarti sikap dan sifat dalam menghadapi berbagai perbedaan yang ada dengan cara menghargai, membiarkan, memperbolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan yang bertentangan dengan pendapat sendiri (Departemen Pendidikan Nasional, 2012, h. 1447-1448).

Pesan toleransi dalam agama Islam bukan hanya disampaikan melaui Al-Qur’an dan Hadis, melainkan lewat praktik historis pembauran kehidupan di Madinah. Rasulullah Saw. adalah contoh pertama dalam praktik toleransi tersebut. Beberapa riwayat sejarah mencatat, betapa indahnya toleransi di masa Nabi yang di antaranya dapat dilihat dari Piagam Madinah yang menjadi kesepaktan antara umat Islam dan Yahudi/Nasrani.

Selain itu, ada pula Perjanjian Hudaibiyah di mana Nabi dan kaum kafir melakukan perjanjian meski mengakibatkan Nabi mengundur ibadah Umrah untuk tahun selanjutnya. Adapun ketika penaklukan Kota Makkah oleh kaum muslimin, Nabi tidak melakukan eksekusi atau hukuman pada penduduk yang dulu menyakiti dirinya, melainkan memberi kebebasan dan masuk Makkah dengan damai (Jamrah, 2015, h. 193).

Sikap tersebut merupakan cerminan dari toleransi beragama, di mana posisi kaum muslim yang sudah kuat dan besar waktu itu bisa saja menaklukan dan menguasai wilayah sekitar tanpa memperdulikan kesepakatan. Namun, Nabi sebagai teladan umat dan panutan umat muslim mencontohkan suatu nilai yang sangat berharga pada masa yang akan datang, yaitu kedamaian.

Peradaban yang berlandaskan perdamian pada masa Nabi, saat ini juga terdapat pada pola kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai populasi masyarakat muslim terbesar dan contoh toleransi umat beragama, Indonesia menjadi cerminan masyarakat dunia dalam hal kerukunan dan kedamaian umat beragama dalam bingkai kemajemukan.

Salatiga: Kota Toleran

Sebagai contoh, penulis akan memberi gambaran Kota Salatiga, yang dalam praktiknya memiliki toleransi yang kuat seperti Madinah kala itu. Berdasarkan Indeks Kota Toleran di Indonesia, tahun 2015 hingga penelitian sampai 2018 oleh SETARA Institute for democracy and peace, Kota Salatiga menempati peringkat 2 kota toleran di Indonesia (Nuryani, 2018, h. 3).

Di antara faktor atau tolak ukur yang menjadikan Salatiga sebagai kota toleran ialah peran pemerintah mendirikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) pada tahun 2007. Hal tersebut berdasarkan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 09 tahun 2006 dan Nomor 08 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Nuryani, 2018, h.4).

Namun, sebelum ada FKUB, Kota Salatiga telah memiliki Majelis Puasa (Majelis Pemuka Agama Salatiga) sebagai organisasi kerukunan umat beragama yang menandakan toleransi di Salatiga telah menyatu pada pola hidup masyarakat. Selain sejuk udaranya karena terletak di lereng Gunung Merbabu, kesejukan juga terletak pada toleransi agama di Salatiga.

Misalnya, dengan diselenggarakannya acara diskusi lintas agama, letak tempat ibadah masjid atau gereja yang dekat hingga sosialisasi dari lembaga pemerintah terus berjalan dengan aman dan nyaman. Seperti Madinah, Kota Salatiga ialah cerminan dari prilaku yang diambil dari nilai-nilai keislaman sebagaimana tujuan agama itu ada: perdamaian.

Editor: Nirwansyah