Mahasiswa selalu digadang-gadang sebagai Agent of Change, gampangnya mahasiswa adalah motor untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Sehingga kemampuan berpikir kritis mahasiswa harus terus diasah sebagai modal awal. Tak heran jika mahasiswa saat ini berlomba-lomba untuk menuangkan pemikiran kritisnya melalui berbagai media. Biasanya cara menuangkan pemikiran-pemikiran kritis para mahasiswa dapat dikategorikan menjadi dua jenis, lisan dan tangan.

Jika mahasiswa menganut sekte lisan, maka sudah bisa dipastikan bahwa setiap argumen bisa keluar dengan paripurna dari mulutnya. Minim sekali celah, bahkan untuk menentang argumennya saja saya tak berani. Biasanya mahasiswa seperti ini lebih aktif di forum diskusi sampai langsung terjun ke demonstrasi membela hak rakyat.

Berbeda dengan sekte lisan, sekte tangan mungkin mulutnya tidak setajam silet. Namun, jangan salah sangka, mereka hanya berbeda senjata. Biasanya penganut sekte ini adalah mahasiswa-mahasiswa yang gemar sekali menerbitkan tulisan mengkritisi hal apapun. Beberapa tulisan yang dihasilkan juga levelnya mirip-mirip artikel ilmiah.

“Keren sekali mereka-mereka ini,” kata saya.

Tapi, jika anda bertanya saya jenis mahasiswa yang bagaimana? Nah, di situ masalahnya. Makanya saya buat tulisan ini. Hahaha. Jangankan menentukan saya ini tipe yang ekspresif dengan lisan atau tangan, saya merasa bisa berpikir kritis saja nggak. Sedih sekali memang.

Meskipun saya mengatakan bahwa mereka keren, saya juga cemburu, bahkan sangat cemburu. Saya selalu bertanya-tanya kok bisa mereka kepikiran argumen seberat itu. Jika itu saya, pasti saya sudah ngantuk duluan ketika baru mulai mencoba memikirkan hal-hal berat. Sedangkan, mereka mungkin sudah seperti ditakdirkan memiliki hobi berpikir kritis.

Karya-karya yang para mahasiswa ini hasilkan juga tak kalah keren dengan pemikirannya. Terutama mahasiswa yang gemar menuangkan tulisannya di platform media digital. Sebagai contoh, salah satu teman saya menulis kajian tentang postfeminisme. Berat sekali, bukan? Jika ingin dibandingkan dengan saya yang tulisan pertamanya mengenai cinta dan patah hati, kok rasanya saya minder sendiri. Tapi, jangan salah tulisan saya terbitnya di milenialis.id, jadi tetap punya kebanggaan dong—kiw kiw.

Belakangan ini saya mencoba nongkrong dan memahami mereka untuk menemukan mengapa terjadi perbedaan kontras antara saya dengan mereka-mereka ini. Ternyata oh ternyata, mereka yang bisa menuangkan pemikirannya dengan lugas dan jelas sangat terbantu dengan banyaknya sumber referensi ditambah dengan seringnya mereka membaca. Dari sini saja sudah berbeda sekali dengan yang saya lakukan, yang sehari-hari isinya sibuk scrolling media sosial. Saya lebih sering membaca curhat dan gosip spill the tea di twitter daripada buku-buku akademik dan sejenisnya.

Tidak berhenti di situ, jika buku adalah jendela dunia maka konsistensi adalah pintu menuju dunia. Dari hasil pengamatan yang saya lakukan, selain gemar membaca mereka juga berusaha untuk konsisten dalam hal apapun. Salah satu contoh kecilnya adalah mereka konsisten untuk tetap mengasah pemikiran kritis mereka setiap hari, sedangkan contoh besarnya, saya mengenal seorang teman yang mempunyai waktu tetap dalam membaca dan menulis, 2 jam membaca dan 2 jam menulis di pagi dan malam hari.

Saya rasa jika tulisan ini diperpanjang maka akan berujung pada rasa iri dan dengki. Menghindari hal tersebut, mari kita sudahi sedikit curhatan saya mengenai sulitnya berpikir kritis. Tenang saja, saya juga sudah menyadari untuk lebih banyak belajar dari mereka daripada tenggelam dengan kecemburuan diri sendiri. Kecemburuan adalah tanda bahwa kita tidak mau berkembang. Sebagai informasi, sekarang ini saya sudah bisa membaca 2 halaman buku akademik tanpa mengantuk, semoga kedepannya bisa lebih baik lagi.

Editor: Ciqa

Gambar: Google