SEMARANG, Sekali Mengenang Rindu Akan Menyerang, begitulah kira-kira jika saya diizinkan untuk membuat akronim dari kata Semarang. Sampai saat saya lulus dari bangku SMA, yang saya tau dari Semarang hanya kota tersebut adalah ibu kota provinsi Jawa Tengah saja. Ternyata tanpa diduga-duga saya cukup beruntung bisa lolos masuk tes SBMPTN di IAIN Walisongo, sekarang namanya adalah UIN Walisongo.
Sejak saat pertama kali menampakan kaki di kota atlas, saya merasa kota ini ini sangat jauh berbeda dengan Cikarang, yang merupakan daerah asal saya. Memang pada kenyataanya adat istiadat dan budaya dari Semarang bak langit dan bumi dengan Cikarang. Selain itu, fasilitas publik dari Kota Semarang jelas lebih baik ketimbang Cikarang, salah satu contohnya adalah pada moda transportasi publik seperti BRT.
Saya akan mencoba menjabarkan pandangan saya secara pribadi terkait Semarang sebagai mahasiswa yang pernah berkuliah di sana. Berikut pandangan-pandangan saya terkait Semarang :
Kota dengan Toleransi Agama yang Tinggi
Sangat mudah untuk melihat bahwa Semarang adalah kota yang dihuni oleh masyarakat dengan toleransi agama yang tinggi. Kamu cukup melihat megahnya rumah ibadah kaum minoritas berdiri kokoh di lokasi-lokasi yang cukup strategis seperti Gereja Blenduk, Klenteng Sam Poo Kong, dan Pagoda Avalokitesvara Buddhagaya Watugong.
Beruntungnya saya merasakan kehangatan toleransi agama dari Kota Semarang melalui sesuatu yang lebih sederhana daripada sebuah bangunan. Semua dimulai pada tahun pertama dan kedua kuliah ketika saya ngekost di jalan ringinsari III, yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari pintu gerbang kampus III UIN Walisongo.
Ketika ngekost disana hampir setiap minggu pagi, saya kerap mendengar lantunan suara peribadatan umat Kristiani. Usut punya usut, ternyata di dekat kost saya terdapat rumah warga yang dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah umat kristiani. Hebatnya setiap minggu pagi, masyarakat sekitar kost saya yang mayoritas muslim cenderung lebih tenang suasananya. Hampir nggak pernah ada bunyi musik dangdut koplo yang biasanya disetel diluar hari minggu. Mungkin untuk menghormati pelaksanaan ibadah umat agama lain agar berlangsung lebih khidmat
Padahal kalau masyarakat sekitar mau untuk protes atas keberadaan rumah yang dijadikan tempat peribadatan sah-sah saja. Sebab saya cukup yakin rumah tersebut belum memiliki izin untuk mendirikan rumah ibadah saat itu karena nggak ada papan informasi sama sekali dan lambang umat kristiani pada tampak depan rumah.
Seandainya ada rumah yang dijadikan tempat peribadatan umat minoritas seperti itu di daerah asal saya Cikarang. Nggak lama setelah dilangsungkannya proses peribadatan pasti langsung ada protes dari masyarakat sekitar. Alasan paling kuatnya adalah belum ada legalitas yang sah bangunan tersebut dijadikan rumah ibadah. Padahal jika boleh jujur, apa benar semua rumah ibadah kaum mayoritas yang sudah berdiri sejak lama telah mengantongi izin mendirikan rumah ibadah ? saya rasa banyak kok yang masih belum.
Kota yang Memiliki Sejarah Panjang dan Menawarkan Wisata Sejarah Gratis
Saat saya masih kuliah, sempat beberapa kali teman-teman saya yang berasal dari Cikarang mengunjungi saya. Beruntungnya Semarang adalah salah satu kota yang sudah sangat berumur di Indonesia. Sehingga membuat Semarang memiliki sejarah yang sangat panjang, dibuktikan dengan adanya berbagai tempat bersejarah disana.
Hal itu memudahkan saya untuk mengajak teman-teman saya dari Cikarang yang kebetulan ke kota ini, untuk berwisata sejarah di Semarang. Tentu saja dengan cara menawarkan wisata sejarah yang gratis seperti Tugu Muda, Kawasan Kota Lama Semarang, dan Gereja Blenduk. Maklum saja namanya juga masih mahasiswa, makanya saya mencari opsi-opsi hemat yang nggak bikin kantong sekarat.
Semarang Menawarkan Kuliner dan Oleh-oleh yang Unik
Saya cukup bergairah setiap ada teman saya dari Cikarang yang minta diajak kulineran di Semarang. Sebab saya dapat meluluhlantahkan gambaran di kepalanya, yang menganggap bahawa kuliner khas Jawa hanya seputar gudeg dan atau bakpia saja.
Banyak sekali makanan di Semarang yang bisa saya rekomendasikan untuk memuaskan lidah teman saya dari Cikarang. Beberapa diantaranya adalah garang asem, babat gongso, iwak kepala manyung, soto bangkong, dan masih banyak lagi. Bukan hanya itu saja, Semarang masih memiliki segudang kudapan andalan untuk dijadikan buah tangan. Seperti tahu bakso bu pudji, roti ganjel rel, wingko babat, dan lain sebagainya.
Makanya jarang sekali ada teman-teman saya dari Cikarang kecewa ketika saya ajak kulineran di Semarang. Mereka semua nyaris “kaget” (dalam artian positif) dan nggak memprediksi bahwa Semarang adalah salah satu surga kulineran di Indonesia.
Kurang lebih seperti itulah salah tiga dari beberapa pandangan yang saya miliki terhadap kota Semarang. Kota yang lebih mudah saya romantisasi ketimbang daerah asal saya sendiri yaitu Cikarang.
Editor: Saa
Gambar: Tokopedia.com
Comments