Setelah membaca tulisan milik salah satu kontributor di milenialis.id, Fathin Robbani Sukmana yang berjudul “Merespon Kebiasaan Warganet Membela si Good Looking”, hati saya lalu tergerak untuk merespon balik tulisan saudara saya ini hehe.
Saya tidak memiliki maksud untuk mencari keributan melainkan hanya ingin menyampaikan pandangan saya terhadap permasalahan ini. Bagi sobat milenialis yang belum membaca tulisannya beliau, saya sarankan baca dulu tulisannya. Setelah itu, kembali lagi ke tulisan saya ya.
Dalam tulisannya, teman saya ini mempertanyakan, kenapa banyak yang membela Zara. Padahal di potongan videonya yang sempat viral kemarin, ia melakukan hal yang tidak pantas. Kemudian penulis membanding-bandingkan si Zara dengan Kekeyi yang sebelumnya viral dan dihujat karena tingkahnya yang bisa dibilang “tidak biasa”. Puncaknya saat Kekeyi ini merilis single pertamanya.
Penulis beranggapan netizen memperlakukan mereka secara tidak objektif. Zara dibela karena rupanya yang dianggap good looking, padahal ia melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Sedangkan Kekeyi dihujat karena fisiknya yang dianggap tidak good looking. Padahal ia hanya berniat untuk menghibur lewat media sosialnya dan bahkan ia sampai menghasilkan sebuah karya yang cukup fenomenal.
Menurut saya, orang-orang membela Zara bukan karena dia good looking, tapi karena para netizen Indonesia peduli dengan mental si Zara. Apalagi ia masih berusia belasan tahun yang mana mentalnya rentan untuk down.
.
Kemudian ada netizen yang bilang “loh, terus gimana dengan nasib si Kekeyi? emang lu pikir si Kekeyi gak punya mental yang harus diperhatikan!?”
Perlu diketahui, membela Zara bukan berarti tidak peduli dengan mental Kekeyi. ini adalah dua hal yang tidak sama. Orang-orang yang membela Zara juga belum tentu ikut menghujat si Kekeyi, kan? Saya sendiri membela Zara, tapi saya juga tidak membenci Kekeyi. Malahan saya merupakan salah satu penikmat lagu yang diciptakan Kekeyi terlepas dari kontroversi lagu ini.
Para netizen beranggapan bahwa orang-orang yang membela Zara dianggap tidak adil atau tidak peduli terhadap Kekeyi, sehingga mereka beramai-ramai menghujat Zara dengan maksud agar Kekeyi mendapatkan keadilan. Ya, Kekeyi mungkin saja mendapat keadilan, tapi Zara di sini yang sekarang disudutkan atau tidak mendapatkan keadilan.
Kalau seperti itu, tanpa sadar para netizen telah membentuk ketidakadilan yang baru seperti yang dikatakan Mas Aliurridha dalam artikelnya di terminal mojok yang berjudul “Membully Zara Adhisti Tidak Sama dengan Membela Kekeyi: Keadilan Sosial bagi Seluruh Warga Good Looking”.
Teman saya, Fathin juga menyebutkan pandangannya kenapa ia beranggapan bahwa netizen Indonesia pro pada mereka yang good looking, padahal attitude-nya tidak good. Di sini saya ingin membantah poin-poin yang disampaikan teman saya ini.
Pertama, beliau beranggapan bahwa yang kerap muncul di media sosial sebagai rekomendasi tontonan adalah mereka yang good looking.
Sebelumnya kita harus tahu dulu tentang algoritma media sosial. Algoritma media sosial ini merekam apa yang kita lihat atau tonton di media sosial agar nantinya media sosial yang kita pakai dapat merekomendasikan konten-konten yang kita minati berdasarkan apa yang kita tonton sebelumnya.
Contohnya, jika kamu menonton sekali, dua kali, tiga kali, atau lebih video-video Atta Halilintar di Youtube, Youtube akan terus memberikan rekomendasi video yang berhubungan dengan Atta Halilintar. Entah itu dalam bentuk videoklip, interview, ataupun video prank.
Jadi kalau misalnya di media sosialnya teman saya, Fathin isinya orang-orang good looking semua, ya mungkin beliau terlalu sering nontonin konten mereka. Makanya media sosialnya kasih rekomendasi tontonan yang seperti itu hehe.
Kedua, beliau beranggapan bahwa netizen Indonesia menilai sesuatu berdasarkan fisik.
Kalau ada yang punya karya yang luar biasa tapi si pemilik karya tidak good looking, kemungkinan besar karyanya tidak akan dihargai. Lain hal bila ada yang punya karya dan kebetulan si pemilik karya ini good looking, pasti akan dihargai walaupun karyanya biasa-biasa saja.
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat itu. Coba deh teman-teman ingat kembali. Kekeyi ini sebenarnya adalah seorang beauty vlogger. Ia dulu viral untuk pertama kali karena konten make up-nya yang bisa dibilang unik. Dan itu bisa disebut karya. Apabila kita mengacu pada standar good looking-nya masyarakat Indonesia, yakni putih, tinggi, dan langsing, si Kekeyi jauh dari itu. Artinya apa? Masyarakat Indonesia tuh masih objektif dalam menilai sesuatu.
Ketiga, beliau berasumsi bahwa media sosial yang terus menampilkan orang-orang good looking, dan netizen Indonesia kerap menilai sesuatu berdasarkan fisiklah yang kemudian menyebabkan orang-orang good looking ini terus dibela walau melakukan sesuatu yang salah.
Sedangkan mereka yang dianggap tidak good looking kerap kali dihujat walau memiliki karya yang luar biasa.
Tanggapan saya, hal itu tidak ada hubungannya dengan algoritma media sosial. Media sosial seperti Youtube, Facebook, Instagram, dan sejenisnya hanya merekomendasikan konten-konten yang berhubungan dengan konten yang kita saksikan sebelumnya di media sosial tersebut.
Dan mereka yang menilai karya seseorang secara subjektif, saya setuju bahwasanya fenomena itu memang ada. Tapi banyak juga netizen Indonesia yang tidak buta, dalam artian para netizen tahu mana karya luar biasa yang seharusnya diapresiasi dan mana yang tidak.
Comments