Menjadi mahasiswa tingkat akhir, berarti sudah harus menghadapi mimpi buruk yang namanya skripsi. Entah mengapa dan bagaimana, mengerjakan skripsi menjadi hal yang memuakkan bagi sebagian besar mahasiswa tingkat akhir. Dilema klasik mulai dari bingung menentukan judul, susah bertemu dosen pembimbing, rumitnya revisi, sampai berhadapan dengan dosen pembimbing dan dosen penguji yang sama-sama killer menjadi keluhan khas. Nggak heran lagi deh kalau kemudian muncul istilah “skripshit”.

Tapi mau nggak mau, mahasiswa tingkat akhir memang harus menunaikan ibadah skripsi ini. Ibarat menikah, skripsi ini adalah rangkaian menuju akad. Sudah pacaran bertahun-tahun, melakukan banyak hal, mulai dari yang enak-enak, sampai yang busuk-busuk, lalu dihadapkan dengan persiapan pernikahan yang ribet dan susahnya minta ampun. Skripsi kurang lebih sama. Kuliah selama empat tahun atau lebih, dan kalau mau lanjut ke level selanjutnya ya harus mengerjakan skripsi. Mau nggak mau, sesulit apapun kudu dijalani.

Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang mulai masuk dunia skripsi, saya memang belum menemukan kesulitan yang gimana-gimana. Belum juga sampai pada taraf harus sambat tiap hari perkara syarat lulus yang satu ini. Namun saya punya keyakinan bahwa mengerjakan skripsi itu nggak sesulit, seribet dan se-mengerikan yang orang-orang kira.

Saya masih berkeyakinan penuh, kalau sebenarnya skripsi itu mudah, dengan tiga syarat berikut:

1. Nggak Malas

Ini adalah penyakit semua umat manusia dari zaman Nabi Adam sampai akhir zaman kelak. Malas. Banyak mahasisiswa yang kesulitan mengerjakan skripsi bukan karena memang sulit, tapi karena mereka malas. Ketika memasuki semester akhir, otomatis mata kuliah sudah berkurang. Mungkin tinggal satu atau dua mata kuliah saja. Sisanya ya hanya bimbingan skripsi saja.

Minimnya mata kuliah (dan jam kuliah, tentunya) yang membuat mahasiswa malas. Daripada pergi ke kampus, mending pergi ke café, ngopi-ngopi, atau malah rebahan saja di kamar. Walhasil, mereka lupa sama skripsinya dan nggak segera mengerjakan. Nanti ketika sudah agak lama, baru sadar kalau skripsinya belum diapa-apakan. Sambat lagi deh.

Buat ritme harian yang jelas untuk menggarap skripsi. Tetap bangun pagi, bikin kopi, menghadap laptop, dan jangan merasa kamu ini pengangguran hanya karena ambil sedikit mata kuliah. Lawan malasmu adalah kunci paling utama.

2. Nurut Sama Dosen Pembimbing

Ini juga jadi masalah. Banyak mahasiswa yang merasa sok tahu dengan membangkang sama dosen pembimbing. Disuruh memperbaiki, malah bilang “ini nggak sesuai kemauan saya”. Padahal fungsi adanya dosen pembimbing adalah mengarahkan skripsi mahasiswa ke arah yang sesuai. Ya kalau misalnya mahasiswanya lebih pinter dari dosennya, sah-sah saja membangkang. Idealis boleh, tapi kita kadang perlu rendah hati dan menyadari kalau dosen pembimbing punya pengalaman lebih banyak dan kamu belum tentu lebih pintar dari beliau-beliau.

Adanya dosen pembimbing itu ibarat pagar yang membatasi agar skripsi mahasiswa nggak ke mana-mana, biar sesuai dengan apa yang tertera di judul dan abstrak. Kadang ada yang sok pinter dengan membangkang pada dosen pembimbing, terus setelah skripsinya jadi dan diuji, malah berantakan dan banyak revisi. Udah gitu teorinya ke mana-mana, nggak konsisten lagi. Coba kalau nurut sama dosen pembimbing, pasti mengerjakan skripsi nggak akan sesulit itu, dan nggak akan banyak revisi.

3. Nggak Usah Dikerjakan

Ya ini jalan terakhir, sih. Kalau ada yang merasa skripsi itu susah, ribet, dan menakutkan, lebih baik nggak usah dikerjakan. Daripada sambat dan bikin masyarakat, mending nggak usah sekalian. Ketika mata kuliah sudah habis semua, cabut aja dari kampus, biar nggak merasakan susahnya mengerjakan skripsi. Toh kan katanya di dunia nyata, pengalaman lebih berharga dari skripsi.

Nah, gimana? Abis baca uraian di atas jadi semakin sadar kan kalau skripsi itu mudah?