Pada tahun 2019-2020 tren anak indie menjadi sebuah perbincangan yang menarik, baik di dunia maya ataupun kehidupan sehari-hari. Tren yang berawal dari selera musik yang akustik tanpa masuk mayor label ini bertransformasi dengan stereotip penikmat kopi dan senja, juga tidak lupa persoalan puisi sebagai pemanis dari starterpack kehidupan indie yang juga dilengkapi dengan tote bag serta kaos khasnya.

Dibalik tren ini penulis tidak membahas bagaimana kesalahan makna indie ini tetapi penulis merasa ada kejanggalan perjalanan hidup anak muda saat ini. Hari ini dengan adanya pengotakan indentitas menjadikan anak muda memiliki gayanya masing-masing seolah yang boleh indie mereka yang pencinta kopi dan senja sedangkan anak aktivis demonstrasi hanya boleh menikmati toa, bait perlawanan serta jarang mandi. Stigma kedua hal ini menjadi tidak stabil karena pertentangan kedua belah buku. Padahal anak muda ini saya yakin mereka membaca dan mengengal seorang aktivis sekaligus anak indie yang gemar naik gunung, baca puisi dan sekaligus seorang demonstran.

Mengenal GIE

Soe Hok Gie adalah salah seorang keturunan tionghoa yang turut andil dalam penurunan kekuasaan Orde Lama. Ia lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Gie merupakan anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet. Ayah Gie, Soe Lie Pit adalah seorang novelis. Gie kecil sering mengunjungi perpustakaan umum dan taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta bersama kakaknya, Soe Hok Djin. Lahir dari keluarga penulis membuat Gie begitu dekat dengan sastra. Sejak masih sekolah dasar (SD), Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Gie kecil menjadi anak yang ajaib ketimbang anak seumuranya yang sibuk main dengankan ia lebih memilih membaca sebagai bentuk kesukaanya terhadap dunia literasi dan juga saking kritisnya ia tidak naik kelas karena mengkritisi perkataan gurunya yang salah. Gie pun mengatakan “guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar dan murid bukan kerbau”.

Memasuki umurnya yang dewasa Gie Pada tahun 1969, bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru. Pada tanggal 8 Desember 1969, Gie bersama rekan Mapala UI memulai pendakian Gunung Semeru. Sebelum berangkat, Gie sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat”. Pada tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 Gie meninggal di Gunung Semeru bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis, akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut.

Anak muda yang belum sempat menikmati umur tua ini menjadi sejarah pergerakan aktivis mahasiswa bahkan dalam bait puisinya Gie menuliskan “Nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda”. Puisi terakhir yang ia tulis seolah menggambarkan dirinya bagaimana melihat realitas Indonesia pada saat itu.

Bahkan ketika ditanya siapa dirinya, Who am i? Gie telah menjawab bahwa “Saya adalah seorang intelektual (terpelajar) yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak populeran karean ada suatu yang lebih besar yaitu kebenaran.”

Soe Hok Gie dan dunianya

Karakteristik seorang Gie begitu kompleks. Dia memiliki semua hal yang berbau anak muda dan aktivisme sekaligus. Dari mulai seorang pembaca, penulis dan seorang demonstrans bahkan seorang pecinta alam. Kalau berkaca pada tren hari ini, tentu anak indie, anak mapala dan anak aktivis memiliki jalan yang berbeda dan terjadilah pengotakan. Si kutu buku terlalu sibuk dengan bukunya sehingga lupa dengan realitas kehidupan, lalu untuk apa ia banyak baca buku. Kemudian dunia demonstrasi yang perlunya kekuatan membaca untuk memperkaya dan mempertajam keilmuan.

Gie mengkritik para aktivis mahasiswa yang berlagak menjadi senior dan tidak mencerminkan orang intelektual. Katanya masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman se ideologi dan lain-lain. Setiap tahun selalu ada adik-adik dari sekolah menengah yang menjadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam itu. Kemudian Gie memberi dua pilihan, yaitu menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi Gie kemudian melanjutkan, aku memilih menjadi manusia merdeka. Hal ini menjadi pukulan keras kepada dunia kampus yang hari ini masih terjadi seperti kejadian yang diucapkan Gie. Realitas kehidupan aktivisme membuat kehidupan kampus mati dan ruang-ruang intelektual menjadi terhambat ditambah pengotakan antar penikmat senja dan dunia demonstrasi.

Saatnya penikmat senja melawan

Gie seorang intelektual yang mati muda sehingga membuat sosoknya hari ini lebih didengar ketimbang dia masih hidup bahkan karya-karyanya seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sebagai aktivis kemahasiswaan, Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Pada tahun 1983, Gie menerbitkan buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran” yang merupakan buku harian Gie sendiri. Beberapa buku Gie yang lain juga diterbitkan, di antaranya “Zaman Peralihan” (1995) yang merupakan kumpulan artikel Gie selama rentang tiga tahun masa Orde Baru, “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997) dan “Di Bawah Lentera Merah” (1999) keduanya merupakan skripsi Gie yang kemudian dibukukan.

Pegiat literasi yang berjas demonstran adalah sebuah impian hari ini untuk melanjutkan dan menumbuhkan sosok Gie baru yang lebih revolusioner ketimbang duduk ngopi tanpa ada pembahasan persoalan kebangsaan yang semakin kacau sehingga hal ini menjadi kritik pedas bagi seluruh sarjana dan mahasiswa yang berlaga sebagai agen perubahan atau agen intelektual.

Kemudian Gie mempunyai pesan kepada seluruh pembaca yang saya yakin anda seorang calon mahasiswa, sedang mahasiswa atau sudah lulus kuliah. Dan ingatlah selalu pesan ini “Bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru mereka harus bisa bebas dari segala arus masyraakt yang kacau. Tapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya. Apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelejensia yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah meluturkan semua kemanusiaan”.