Hal yang wajar tentunya untuk sibuk dan memenuhi memori yang kita punya dengan keinginan-keinginan yang seperti tak ada habisnya. Ditambah lagi, rasanya hidup jadi lebih berat karena ada tuntutan media sosial. Waktu 24 jam yang kita punya kadang terasa kurang -maklum, sifat manusia kan nggak pernah puas.

Hal itu juga sama kurasakan. Memilih pendidikan yang bagus dan berkualitas, hangout bareng temen-temen, mencoba mengikuti organisasi A, komunitas B, memilih semuanya untuk menyibukkan diri, meskipun itu berarti akan menyita waktuku utuk menghabiskan waktu bersama keluarga dan pulang ke rumah.

Mungkin karena telah terbiasa jauh dari orang tua, hal itu bukan sesuatu yang kupikir harus aku khawatirkan. Terlebih aku cukup merasa risih akan sifat over-protective sang Ibu, sehingga kadang merasa jauh lebih nyaman dan merasa aman saat berada jauh dari beliau.

Ibu memang manusia paling khawatir-an terhadap anaknya. Termasuk ibuku, ibu yang menurutku paling enggak romantis di dunia tapi protektifnya keterlaluan. Dan sebagai balasan atas ketidakromantisannya, aku menulis catatan yang tidak romantis ini pula untuknya -entah nanti aku berani tunjukkan beliau atau tidak.

Kalau kuingat, mungkin terakhir kali aku dipeluk atau memeluk ibu itu waktu TK atau SD kelas 2. Habis itu, kami hidup seperti teman saja. Nggak ada romantisme kayak dia kasih selamat ulang tahun ke aku atau sebaliknya. Bahkan mungkin kalau kami bisa saling memanggil bro, itulah yang kami lakukan. Jangan ketawa, ini serius. Kebetulan, zodiak kami sama- yang kata banyak orang bakalan berantem terus kalau ketemu, entah bener atau nggak. Mungkin karena sifat jelek kami yang terlalu mirip itu terlalu sering bertemu.

Jangan bayangkan obrolan kami seperti pasangan putri dengan ibu pada umumnya. Kami hanya nyambung saat bergosip dan mengobrol masalah masakan karena ibuku ini hobi memasak dan sepertinya hal itu menurun ke aku.

Ini bukan berarti aku tidak sayang sama ibuku. Ada yang bilang, anak perempuan lebih dekat dengan bapak sampai mereka tahu rasanya melahirkan dan merawat anak. Aku rasa aku nggak perlu menunggu selama itu untuk tahu perjuangan ibu itu berat dan menghargainya.

Saat ini, saat umurku sudah bukan anak kecil lagi, saat rambut Ibu sudah didominasi warna putih, aku baru sadar kalau sudah waktunya aku untuk “pulang”. Pun tak usah terlalu menyibukkan diri akan tanggapan orang lain karena menikmati hidup bersama orang-orang tersayang tentunya jauh lebih penting dan membahagiakan.

Meskipun tak mudah untuk kembali ke rumah secara keseluruhan tapi yaudah dinikmatin aja, karena “When we say that happiness is homemade, it doesn’t mean that it comes simply and easily. Home is something we have to take care too. Home can be a mess sometimes but it’s okay. We carry on, right?”

Aku pikir, hal terbaik dari Hari Ibu adalah dengan mengingat ulang hal-hal aneh yang lucu dan sedih di antara kami. Dan seiring aku yang makin tua, aku jadi merasa harusnya maklum saja, bahwa bagus dan jeleknya apa yang ibuku lakukan dulu. Sekarang aku sudah tahu rasanya jadi orang dewasa, walau belum jadi istri dan ibu.

InshaAllah baktimu ke beliau sebagai jalan untuk surga ada di genggamanmu. Jadi ngga usah jauh-jauh mencari surga ya, karena sebenarnya surga ada di rumahmu, yaitu Ibumu. Sekali lagi, surga ada di rumahmu, di telapak kaki ibumu.

Surat ini ditulis oleh Nadhifah Azhar untuk Mamanya di rumah, dalam rangka menyambut Hari Ibu, 22 Desember 2019.

Selamat Hari Ibu!

Ilustrator: Ni’mal Maula