Setiap kepingan cerita mengenai Eyang Habibie dan Bu Ainun memang sangatlah menarik untuk diungkap. Sehingga tidak mengherankan kan kalau sejauh ini sudah ada setidaknya tiga film mengenai beliau berdua yang berhasil digarap dan diangkat ke panggung bioskop.

Pada akhir tahun 2019, film Habibie Ainun 3 hasil produksi MD Pictures berada dalam garapan sutradara Hanung Bramantyo dan penulis skenario Ifan Ismail.

Wih, lalu seperti apakah film-nya? Yuk, kita kupas bersama!

 

Tidak seperti dua film sebelumnya, film yang satu ini lebih banyak bercerita mengenai kehidupan Ainun sendiri, khususnya sebelum bertemu kembali dengan Habibie─yang saat itu masih menempuh studi di Jerman. Banyak nilai yang coba diangkat di dalam film, di antaranya adalah semangat nasionalisme dan emansipasi. Hal tersebut dapat ditangkap dalam kesungguhan diri Ainun muda untuk mengabdi kepada masyarakat Indonesia dengan menjadi seorang dokter. Bagi Ainun, profesi ini akan memberi kesempatan padanya untuk membantu banyak orang.

 

Selain itu, ia juga digambarkan sebagai sosok yang penuh percaya diri dan tidak pantang menyerah meskipun orang-orang lain meremehkan kemampuannya. Mereka menganggap bahwa profesi dokter tidaklah tepat dipegang oleh seorang perempuan pada saat itu.

Di tengah keseriusan menempuh studi kedokteran di Universitas Indonesia, Ainun bertemu dengan sosok lelaki romantis bernama Ahmad. Ia selalu berada di sisi Ainun dan membantunya dalam banyak hal. Bahkan, Ainun juga sempat menerima lamaran lelaki ini.

 

Menariknya, cerita mengenai Ahmad dan Ainun diingat lekat oleh Eyang Habibie dalam film tersebut─yang diperankan oleh Reza Rahadian. Baginya, mengetahui masa lalu masing-masing tidak membuat sepasang kekasih menjadi sulit menerima satu sama lain, lebih-lebih keduanya bisa sama-sama mengerti untuk kemudian memantapkan hati melangkah bersama ke depan.

 

Kata beliau menanggapi sosok Ahmad yang mampu meluluhkan hati Ainun muda, “Semua yang indah dan dramatis belum tentu satu frekuensi.” Kalimat itulah yang kemudian menuntun ke bagian cerita selanjutnya. Apakah Ahmad berhasil menguatkan Ainun di masa-masa beratnya? Bagaimanakah hubungan keduanya bisa berakhir? Nah, film ini sangat menarik untuk didalami. Sila untuk mencicipi.

 

Secara umum, ide yang diusung sangatlah cemerlang menurutku. Pantas saja seorang sahabat yang kerap disapa Ujang sebelumnya memberi komentar melalui Instastory-nya, “Saya yang bodoh ternyata salah. Bukan hanya Alm. Ainun yg beruntung dpt hidup bersama Alm. Habibie. Tapi ternyata jg berlaku sebaliknya.” Tepat sekali, aku setuju.

 

Gambaran sosok Ainun sebagai perempuan yang tangguh, dokter yang tulus, serta warga negara yang sedalam itu cintanya pada negaranya begitu baik tergambarkan dalam diri Ainun yang diperankan oleh Maudy Ayunda.

 

Tidak bisa diragukan juga, penampilan karakter di film ini pun menurutku sangat luar biasa. Salah satu yang jelas ialah pada tokoh utama Eyang Habibie. Reza Rahadian disulap sedemikian rupa hingga merupai Eyang Habibie sungguhan. Pun untuk menggambarkan diri Habibie muda, Reza juga berhasil digambarkan menjadi anak seusia SMA dengan bantuan visual effect. Tentunya, itu menjadi nilai lebih untuk film ini.

 

Hanya saja, tetap harus diakui bahwa tidak ada yang sempurna. Di lain sisi, film Habibie Ainun 3 agak membuka jurang yang cukup lebar antara tokoh di film dengan para penonton. Ini dikarenakan beberapa adegan kurang terkesan realistis entah dari pembawaan para tokoh di adegannya maupun percakapan yang terjadi. Contohnya pada pertemuan awal Ahmad dan Ainun, juga pada adegan mereka putus hubungan. Ada hal janggal yang memperjelas betapa adegan itu memang terlihat sangat ‘drama’, dan bukan cerita nyata.

 

Bagaimanapun, film Habibie Ainun 3 ini memberikan inspirasi dan pelajaran bagi para penontonnya. Meskipun banyaknya nilai dan pesan yang ingin disampaikan dalam film terkadang menjadi sulit untuk disampaikan secara maksimal, semoga ini menjadi langkah baru untuk lebih baik dan lebih keren lagi. Sukses perfilman Indonesia!

 

Thank you!

 

Penulis: Ahimsa W. Swadeshi

 

Ditulis dengan semangat yang masih sangat matang habis pulang nonton sama sahabat Enggar, hehehe. Yogyakarta, 2 Jumadil Awal 1441.

 

Ilustrator: Ni’mal Maula