Dewasa ini, hidup sudah terlampau rumit dan acak dari sekadar panggung sandiwara. Realitas hidup sudah tak terlalu jelas, ditambah hiperealitas yang kian menggerogoti batas antara kenyataan dan fantasi. Mengaburkan batas antara yang benar-benar nyata dengan yang hanya terlihat nyata.


Ketidakjelasan ini, diperparah dengan kondisi global alih-alih terorisme, hal kecil dari segi sosiokultural hingga ekonomi yang belum juga pulih akibat pandemi sialan bernama “Coronavirus Disease 2019“. Abad ke-21 ini, juga dihantam berbagai bencana kemanusiaan yang kian menebalkan kegamangan, kengerian bahkan penderitaan manusia akhir zaman.

Dan penderitaan zaman kiwari ini semakin tak dapat dipahami, jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah, yang masih polos seperti kanvas kosong. Lebih tak masuk akal lagi, jika mereka harus meregang nyawa di atas tanah yang tak pernah membidani kelahiran C4, bedil, bubuk mesiu, dan selongsong peluru.

Terorisme

Sungguh betapa menyedihkannya bila anak kecil dan semua korban yang tak bersalah itu pulang ke pelukan Tuhan dengan tubuh yang tak lengkap, dengan cita-cita yang belum sempat dibuat, dengan naifnya bertanya kepada Tuhan mengapa ada sekumpulan manusia peneror yang dengan bangga menumpahkan kedunguannya pada teras-teras dunia.

Ah, andai kita semua setuju bahwa para teroris itu, jauh lebih buruk dari tahi kotok yang masih hangat-hangatnya, yang keluar dari pantat seekor unggas, yang membawa virus H5N1; jauh lebih aneh dari sebuah fungi, yang mengandung senyawa psikedelik, yang tumbuh subur bersama metana di atas tinja hewan Ruminansia.

Oleh sebab tak ada yang lebih buruk dari seseorang hidup hanya untuk benih-benih kebencian juga menebarkan virus ketakutan, dan tak ada yang lebih aneh dari seekor primata tercerdas yang diberi seperangkat akal yang mutakhir, namun tak pernah menggunakan 1% saja otak kirinya untuk memantik logika.

Hati kecil pun perlahan mengutuk para teroris itu, “ah seharusnya para bajingan itu mendekam di kerak penjara atau di pojokan Unit Gawat Dungu daripada hanya membuat teror, teror dan teror.”
Aksi terorisme, nyatanya, memanglah membuat kita semua bermimpi buruk, khas film horor yang menekan psikis, yang akhirnya membuat kita tak pernah bisa sejenak menghirup udara sejuk nan damai.

Atas alasan itu semua, segala bentuk terorisme harus kita lawan bersama. Dengan pertama-tama menelan pil pahit, bahwa “para teroris itu nyata adanya, memiliki afiliasi dengan agama atau ideologi tertentu (tentu dengan kecenderungan mabuk agama atau ideologi), atau setidaknya menerima kenyataan bahwa seorang Ateis alias seorang yang tak percaya pada Tuhan juga agama, kecil kemungkinan menyianyiakan hidupnya yang sekali, demi melakukan bom bunuh diri.”

Namun apapun alasannya, baik itu karena taklid buta, faktor ekonomi, krisis eksistensial, salah membaca atau hanya membaca satu buku saja, terlalu sulit menanam cinta hingga memilih menanam benci, bermimpi sebagai martir yang diutus langsung oleh Tuhan, mabuk agama sampai jackpot, ingin segera bersanggama dengan tujuh puluh dua bidadari/bidadara dalam keabadian, gagal menafsir makna Eskatologi dari berbagai versi, atau mungkin hanya ingin terlihat sebagai salah satu manusia yang tak hadir saat Tuhan membagikan otak—terorisme tak dapat dibenarkan.

Terorisme, tak boleh kita beri ruang. Sebab kedamaian antar semua makhluk adalah konsekuensi logis dari tak adanya toleransi pada segerombolan manusia pembuat onar (yang tentu saja intoleran). Kita, harus tegas mengkampanyekan persatuan, lebih giat lagi menyuarakan keberagaman dan cinta, lebih gencar lagi memberi edukasi bahwa menjadi teroris adalah masuk neraka jalur prestasi.

“Dengan mengerahkan segenap otot, kita bisa mengalahkan teroris. Tapi dengan membuka secuil otak, kita bisa mengalahkan terorisme.”
Taklid Buta

“Cinta memang buta, tapi taklid buta hanya berakhir dengan gelap mata yang disinari oleh gelap buta.”
Betapa aku ingin tertawa, keras, sangat keras—ketika ada seorang manusia yang percaya bahwa kekerasan dan kebencian dapat mengantarnya ke surga yang memiliki bahan dasar cinta.

Dan betapa aku ingin meludahi muka orang-orang yang berkata bahwa, kebenaran adalah miliknya sendiri; segala sesuatu selainnya dan diluar golongannya adalah kafir, murtad, musyrik, tagut, berskala berhala, sesat sekaligus menyesatkan dan layak dibunuh, titik.
Sialnya, menurut pembacaan mereka yang tak percaya keberadaan dari keberagaman warna di bumi, pelangi dan buku pantone, dunia ini memanglah monokromatik alias hanya terdiri dari satu warna. Atau versi lebih sintingnya lagi, jika dirinya benar, maka selainnya adalah salah. Mengerikan bukan? Lebih mengerikannya lagi, para penaklid buta (dalam konteks ini merujuk pada teroris) itu tak suka iqro, bahkan tak pernah membaca buku dan keadaan.

Taqlid Buta


Andai, sejenak saja mereka meluangkan waktu yang fana ini untuk membaca buku: Membaca filsafat, membaca bahasa, membaca sastra, membaca sains, membaca sejarah, membaca teologi, membaca cinta, membaca gejala dari jelaga, membaca apa saja yang bisa membuat parasut di dalam otaknya terbuka secara sempurna.
Kemudian bangun dari mimpi usangnya perihal membangun surga di hari esok (yang di lain sisi justru menciptakan neraka di hari ini). Lantas menerima kehadiran tujuh koma delapan miliar manusia di muka bumi: dengan lebih dari empat ribu dua ratus macam agama dan kepercayaan yang berbeda; dengan lebih dari tiga ribu Tuhan dan Dewa, dengan berbagai sebutan yang berbeda-beda dalam setiap bahasa.

Lalu menerima fakta, bahwa bumi sendiri hanyalah satu diantara seratus miliar planet yang mengisi galaksi Bima Sakti. Satu di antara sekitar dua ratus miliar galaksi diseluruh semesta.
Terdengar utopis memang, tapi kita juga sudah terlalu risih melihat kebobrokan logika dimana-mana.

Menyaksikan betapa tolol, dungu, pandir, dan sintingnya mereka setiap kali merasa berhak menyakiti, menghancurkan bahkan membunuh manusia lainnya. Hanya karena mereka ini yakin dan bertaklid secara butaBahwa, di antara empat ribu dua ratus agama dan kepercayaan; Di antara tiga ribu nama-nama Tuhan; Di antara tujuh koma delapan miliar manusia; Di antara seratus miliar planet; Di antara dua ratus miliar galaksi, hanya merekalah yang paling benar.

Ketololannya

“Dari berbagai ketololan yang ada, Terorisme seharusnya menyandang predikat ketololan terbaik.”

Terbaik dalam melakukan hal-hal buruk. Ah lupakan, mari kita berdoa, panjang umur hal-hal baik. Entahlah, lagipula kita tak pernah tahu apa yang bersemayam di lubuk hati seorang teroris. Tapi yang jelas, itu bukan nurani. Karena tiada nurani yang tega membohongi dirinya sendiri, demi meledakkan apa-apa yang berbeda berbasis ego atas kultus (pemujaan) berlebih atau ketidaktahuan semata.

“Pemujaan yang berlebihan itu tidak sehat.” -Patrick Si Bintang Laut
Sebelum tulisan ini berubah menjadi sumpah-serapah yang tak berujung pangkal, bijaknya aku segera mengakhiri tulisan ini dengan: sekian, semoga semua makhluk berbahagia.