“Datanglah mendekat. Saksikan bagaimana feminism data menyentuh dan mengubah hidup Anda dan seluruh kehidupan kita. Mendekatlah, supaya tahu secara langsung apa arti gerakan feminis. Mendekatlah dan Anda akan melihat: feminisme adalah untuk semua orang.” (hal. 6)

Meski feminism sudah ada sejak dulu, namun dia selalu menjadi sesuatu yang eksklusif. Hanya didiskusikan dan diperbincangkan oleh para intelektual di tempat khusus seperti kampus atau organisasi feminis. Selama puluhan tahun dia tidak menyentuh orang-orang awam di akar rumput, khususnya di Indonesia. Femninisme tidak ada di sekolah, angkringan, atau sekolah. Baru setelah era media sosial, feminism perlahan-lahan berubah menjadi inklusif, meskipun tidak semua orang mengerti dan juga tidak sedikit yang hanya sekadar tahu namanya saja.

Jika melihat tempat feminisme sebelumnya, wajar rasanya banyak orang yang tidak mengerti apa itu feminisme. Namun, di saat yang sama, dari orang-orang yang tidak mengerti itu, beberapa menjadi penasaran dan berusaha memenuhi rasa ingin tahunya. Hal ini tentu bisa sedikit membantu para aktivis feminis di Indonesia. Jika sudah begini, yang tersisa adalah mengedukasi dan menyebarkan feminisme pada semua orang. Dan buku Feminisme Untuk Semua Orang hadir untuk mencapai tujuan ini.

Feminisme Untuk Semua Orang adalah usaha Bell Hooks untuk “membumikan” feminisme. Dia tidak ingin feminisme terus-terusan menjadi milik segelintir orang. Karena itu, dia menulis sebuah buku feminisme yang ringkas dan mudah dipahami. Bagusnya lagi, dalam buku ini Hooks menunjukan wajah positif dan negatif feminisme, berikut dengan masukan yang bisa dipertimbangkan oleh pembacanya.

Hooks memulai tujuannya dengan menjelaskan pengertian feminisme dalam esai “Politik Feminis: Tempat Kita Berpijak”. Di kalimat pertama, dia langsung menyebutkan bahwa feminisme adalah gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan penindasan (hal. 7). Selain itu, dia juga menjelaskan beberapa kekeliruan yang ada di masyarakat tentang feminisme. Bahwa feminisme adalah gerakan anti-laki-laki, bahwa feminisme adalah para perempuan yang memperjuangkan kesetaraan gender—upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, dan pembagian peran di rumah tangga antara laki-laki dan perempuan. Hooks menganggap ini keliru dan tidak mengakhiri seksisme, yang menjadi musuh utama feminisme. Artinya, selama masih ada seksisme ini, feminisme tidak akan benar-benar terwujud.

Kekeliruan seperti yang saya sebutkan sebelumnya juga ada di masyarakat Indonesia, khususnya generasi milenial dan Z karena mereka lebih familiar dengan sosial media tempat feminisme muncul dan diperbincangkan oleh banyak orang—termasuk influencer-influencer perempuan dengan kepintarannya. Jika kamu membaca buku ini, kamu akan menemukan beberapa fenomena yang sangat bertalian dengan realitas kita saat ini.

Seperti kehadiran perempuan yang mendominasi perempuan lain dan menyebabkan persaudarian feminis tidak dapat sepenuhnya diwujudkan. Penyebaran paham feminisme untuk menjangkau lebih banyak orang tanpa dibarengi dengan penyesuaian melalui media-media yang dapat membantu orang-orang dari berbagai kalangan memahami feminisme, seperti kaset, lagu, atau acara-acara televisi. Ada juga pembahasan mengenai feminis pro-aborsi dan anti-aborsi yang di Indonesia menjadi isu hangat dan sulit mencari jalan keluarnya. Dalam esai “Tubuh Kita, Diri Kita Sendiri: Hak-hak Reproduksi” Hooks menjelaskan bahwa masalah utamanya bukan menjadi pro-aborsi atau anti-aborsi, tapi memperjuangkan agar perempuan mendapatkan pendidikan seks, perawatan kesehatan preventif, dan akses yang mudah ke alat-alat kontrasepsi agar perempuan memiliki hak untuk menentukan apa yang terjadi pada tubuhnya.

Tidak sampai disitu saja, Hooks juga menjelaskan dalam esai “Kecantikan di Dalam dan di Luar” tentang feminis yang menentang standar kecantikan yang sudah berlaku di masyarakat tapi tidak membuat standar kecantikan yang baru yang bisa menjadi alternatif bagi banyak perempuan. Hal ini, pada akhirnya, hanya membikin perempuan bingung—di satu sisi mereka setuju bahwa standar kecantikan yang berlaku sangat tidak baik bagi mereka, di sisi lain, mereka tidak tahu bagaimana “cantik” yang ideal—dan mencederai perjuangan feminis.

Dalam “Para Perempuan di Tempat Kerja” ada satu kritik atas visi feminisme oleh Hooks, yaitu anggapan bahwa perempuan-perempuan yang sudah bekerja pada dasarnya sudah terbebaskan. Dia mengatakan bahwa pekerjaan dengan upah yang rendah tidak akan membebaskan perempuan dari dominasi laki-laki. Sedangkan pada kenyataannya, lebih banyak perempuan yang memiliki upah yang rendah. Dia menyarankan kepada para feminis untuk memperjuangkan kebebasan dan kemandirian ekonomi bagi perempuan karena ini dapat memberikan kebebasan yang lebih nyata daripada sekadar ajakan untuk bekerja tanpa menghiraukan resiko mendapatkan upah yang minim. Juga untuk mengedukasi laki-laki bahwa perempuan di tempat kerja bukanlah musuh yang sewaktu-waktu bisa merebut sumber penghasilan mereka.

Esai “Pengasuhan Feminis” menjelaskan cara mengakhiri seksisme dengan menanamkan nilai-nilai anti-seksis pada anak-anak dapat menjadi alternative pilihan yang akan membuat seksisme hilang suatu saat nanti. Namun, masalahnya adalah pola pengasuhan yang sangat seksis sudah mengakar kuat dan sulit dihilangkan. Karena itu, Hooks menyarankan kepada para feminis untuk terus mengedukasi keluarga tentang pola pengasuhan anti-seksis ini.

Hooks menjelaskan berbagai macam situasi dan kondisi yang telah dihadapi oleh feminisme sejak dulu; bagaimana feminisme menghadapinya; apa yang kurang dari perlawanan itu; dan masukan-masukan bagi gerakan feminisme di mana saja dalam 20 esai pendek—sekitar 7-10 halaman saja—dengan bahasa yang mudah dimengerti dan yang paling penting, narasinya tidak hanya ditunjukan kepada para feminis. Dia tidak sedang “berdakwah” kepada orang-orang yang satu pemahaman dan sepemikiran dengannya dalam buku ini. Saya merasa Hooks sedang ilmu dan pengetahuan yang dia miliki seperti yang dilakukan oleh guru kepada murid-murid di kelasnya.

Jika kamu ingin ikut ambil bagian dalam gerakan feminisme atau hanya sekadar ingin menentukan sikap saat menemukan diskusi mengenai feminisme di mana saja, buku ini wajib masuk ke dalam daftar bacaanmu. Agar kamu tahu batasan-batasannya dan akhirnya dapat menentukan siapa yang melewati batas dan siapa yang tetap dalam koridor feminisme. Karena feminisme bukan hanya milik perempuan, melainkan untuk semua orang, maka siapa saja berhak masuk ke dalamnya.

Editor: Nawa

Gambar Dea Safira