Belum lama ini aku buat tulisan tentang kekhawatiran di tahun 2020. Ada beberapa hal yang dibahas di sana, mulai dari kebakaran hutan Australia sampai kemungkinan perang AS-Iran. Ternyata, sebelum Januari selesai, dunia kembali gempar. Kali ini ada wabah virus corona yang muncul dari Wuhan, sebuah kota di Provinsi Hubei, China.

 

Wabah kali ini disebut sebagai 2019 nobel coronavirus (2019-nCov). Disebut demikian karena virus corona yang satu ini tergolong baru. Sebelumnya, virus ini pernah menyebabkan wabah SARS di dekade 2000-an dan MERS di dekade 2010-an. Wabah ini mengkhawatirkan warga dunia, warga Indonesia pun nggak bau ketinggalan. Bahkan TTI tentang virus corona sempat dua hari mendominasi jagat pertwitteran. Padahal, kita mestinya nggak perlu seheboh itu.

 

Nggak Perlu Heboh

 

Kalau kita memahami wabah kali ini dengan baik, kita benar-benar nggak perlu khawatir—walaupun kewaspadaan tetap harus ada. Yang harus diperhatikan, ketidak-khawatiran kita berbeda dengan menyepelekan ya. Bahasan di tulisan ini bakal menjelaskan kenapa ketidak-khawatiran yang satu ini sama sekali nggak menyepelekan masalah yang ada.

 

Menurut video yang dirilis The Guardian lewat IGTV pada 25 Januari 2020, wabah ini baru menyerang orang-orang Wuhan atau orang-orang yang pernah ke Wuhan. Jadi, belum ditemukan kasus infeksi 2019-nCov menyerang orang yang sama sekali belum pernah ke Wuhan. Terlebih lagi, penduduk Wuhan yang terinfeksi kasus ini sangat sedikit kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk.

 

Memang benar bahwa ada WNI yang tinggal di Wuhan. Tapi, para WNI yang tinggal di Wuhan nggak ada yang terpapar wabah virus 2019-nCov. Pun begitu logistik selama Wuhan diisolasi bisa mencukupi.

 

Nggak kalah penting, kita perlu tahu bahwa korban meninggal akibat wabah ini seluruhnya penduduk usia 40 tahun ke atas. Karena itu, dugaan korban jiwa memiliki penyakit lain pun meningkat. Kalau dugaan itu betul, tandanya penyebab kematian bukan sebatas virus 2019-nCov. Karena dari sananya penduduk berusia lebih dari 40 tahun dengan penyakit bawaan lebih rentan memburuk keadaan kesehatannya.

 

Namun, karena pemberitaan yang masif dan kita yang begitu sensitif kalau mendengar kata wabah dan melihat video di media sosial bikin 2019-nCov ini bikin khawatir berlebihan. Apalagi sampai ada permainan politik identitas dan berita palsu yang makin memperparah kekhawatiran kita.

 

Manusia vs Penyakit Menular

 

Lebih dalam lagi, menurut Harari (2015) dalam buku Homo Deus manusia sebenarnya secara umum sudah menang dalam perang melawan penyakit menular. Manusia mulai bisa “mengendalikan” penyakit-penyakit menular. Termasuk virus 2019-nCov ini.

 

Kalau kita putar ke belakang, teknologi kesehatan berhasil menangani wabah ebola di Afrika. Padahal, wabah ini mematikan lebih dari 50% pengidapnya. Manusia juga berhasil menyudahi wabah SARS, saudara tua 2019-nCov, di awal dekade 2000an yang kemungkinan kematiannya sekitar 10%.

 

Ingat, peradaban manusia sekarang juga sudah sangat maju, terutama dalam fasilitas kesehatan. Hampir mustahil terjadi wabah semacam pes—yang sering disebut sebagai black death—di dunia terutama Eropa abad pertengahan. Karena minimnya ilmu kesehatan, manusia pada saat itu cuma berharap pada doa dan mantra yang nggak menyelesaikan masalah. Saat itu membunuh sampai 1/3 populasi Eropa.

 

Karena itu, sekarang kita nggak perlu khawatir berlebihan dengan wabah corona yang saat ini sedang hits. Apalagi wabah 2019-nCov sejauh ini punya kemungkinan kematian sekitar 2%. Antisipasi pemerintah China dan pemerintah negara-negara di dunia pun sudah luar biasa. Wuhan benar-benar diisolasi, nggak boleh ada orang masuk ataupun keluar kota kecuali darurat. Perjalanan dari dan menuju China pun sangat dibatasi.

 

Karena itu, kita justru perlu waspada dengan pembunuh yang nggak terlalu hits, tapi lebih bahaya dari wabah virus corona.

 

Pembunuh tersebut adalah penyakit tidak menular. Betul, serangan jantung, kanker, stroke, diabetes, dan semacamnya. Masih menurut Harari dalam Homo Deus, penyakit-penyakit tersebut jadi penyakit yang paling banyak membunuh manusia di abad 21. Juga membuktikan kalau “kelebihan makan” di abad ini jadi pembunuh yang lebih ganas dibanding “kelaparan” dan “perang/konflik”.

 

Penyakit inilah yang perlu kita khawatirkan—di samping tetap waspada dengan wabah semacam 2019-nCov. Karena penyakit-penyakit tidak menular itu menjangkiti manusia lewat pola makan dan pola hidup yang nggak sehat. Mulai dari kebanyakan gula sampai kebanyakan mengonsumsi zat karsinogen. Paparan radikal bebas pun berpengaruh.

Sepanjang sejarahnya, SARS membunuh 800 orang, MERS membunuh 400-500 orang, ebola membunuh 11.310 orang, dan 2019-nCov membunuh 106 orang (per 28 Januari 2020). Sementara itu, menurut situs Our World in Data di tahun 2017 saja penyakit jantung membunuh 17,79 juta orang, kanker membunuh 9,56 juta orang, diabetes membunuh 1,37 juta orang. Kelihatan bedanya kan?

 

 

Jadi, daripada heboh tentang Corona, mending heboh tentang pola hidup kita. Biar kepedulian kita tepat sasaran, gimana menurutmu?

 

Tonton juga: https://youtu.be/_PyLyizHwe4

 

Penulis : Nabhan Mudrik A. 

Ilustrator : Ni’mal Maula