Media sosial belakangan menjadi tempat individu saling berinteraksi. Hampir tiap hari kita lebih sering menghabiskan waktu di media sosial ketimbang di dunia nyata. Pantas jika penetrasi pengguna media sosial di Indonesia cukup tinggi. Anak-anak, bahkan yang dulunya lebih suka bermain game di berbagai macam konsol dan platfrom kini sebagian besar beralih ke media sosial. Anak saudara saya yang masih sangat belia berumur sekitar lima tahunan saja sudah nyanding nonton YouTube.
Anak-anak yang belum juga mengenyam pendidikan SD kini bermainnya bukan robot, Tamiya, gambar tempel, gasing, atau semacamnya, melainkan telepon pintar.
Tak ayal penetrasi pengguna di Indonesia sangat banyak. Survei Hootsuite saja, pada Januari 2019 menyebutkan ada 150 juta orang aktif bermedia sosial di Indonesia.
Dari survei itu, YouTube merajai dengan persentase pengguna 88 persen. Wow, banyak bukan? Pantes kalau Arta Halilintar sama Ria Ricis jadi banyak fansnya.
Data lain dari The Verge yang saya kutip melalui platfrom Kompas menunjukkan kalau video YouTube yang paling laris ditonton adalah video gaming. Orang lagi main gim divideo.
Alhasil menjamur pula youtuber-youtuber gaming. Efeknya video-video tersebut sangat potensial digandrungi siapa saja, tak terkecuali anak-anak.
Saya rasa nggak ada satu anak, terutama dalam masyarakat urban yang nggak suka main game. Kecuali anak-anak yang belum dilahirkan. Kanal-kanal YouTube yang isinya video orang main gim pun sukses meraup rata-rata 120 ribu penonton.
Jumlah itu melampaui kategori video-video lain seperti tutorial hijab, kecantikan, dan politik sekalipun. Namun, seperti pula game, video-nya pun bisa mengakibatkan persoalan yang tak disangka-sangka. Apalagi dengan kemungkinan banyaknya jumlah penonton berasal dari anak-anak.
Gim, lebih khusus game online sendiri mempunyai efek negatif jika anak-anak terpapar. Ingatkah kita, dulu pemerintah sempat dikabarkan melarang beberapa gim yang menimbulkan bahaya?
Kalau nggak salah ingat, dulu sempat heboh pelarangan 16 game online. Salah satunya juga pernah saya mainkan. Game online memang terkenal dapat menimbulkan dampak negatif bagi anak.
Salah satu yang paling kentara adalah pada gim-gim berbau unsur kekerasan. Anak-anak yang memainkannya bisa terpapar dan sangat terbuka untuk melakukan perundungan pada orang lain.
Sebuah penelitian dari Ohio State University di Amerika Serikat sana telah meneliti 220 anak. Hasilnya cukup mencengangkan. 62 persen dari 76 anak yang bermain video game dengan senjata, akhirnya menyentuh senjata betulan.
Artinya, game online bisa berdampak pada psikologis anak, dan parahnya kejadian tak terduga. Begitu pula kekerasan dan perkelahian antar anak. Ironisnya, permasalahan ini nggak hanya selesai cukup dengan melarang anak bermain gim.
Di tengah geliat media sosial yang kian hari, semakin berkembang, justru menimbulkan masalah lain. Terutama anak anak yang menonton video YouTube. Apalagi video-video kategori gaming.
Hampir semua video berkonten gaming adalah representasi para gamers. Perilaku para gamers inilah yang seringkali tak layak buat anak. Gamers—sepengelaman saya masuk dari satu warnet, ke warnet lain—terkenal sebagai orang yang hobinya misuh.
Saya seorang gamers. Dan hampir setiap kali main game apa saja pasti misuh. Menang misuh, kalah yo opo maneh. Bakal tambah misuh sejorok-joroknya.
Perkara mencegah main game ini mudah. Tapi masalahnya orang tua lalai ketika membiarkan anaknya menonton YouTube.
Walau YouTube punya otoritas buat mencegah anak-anak menonton video tak layak, tapi tetap saja rentan kebobolan. Susahnya ketika anak-anak keranjingan nonton video gaming.
Tak jarang di videonya para youtubers gaming ini misuh-misuh dalam videonya. Mengumpat sana-sini, nggak memikirkan kalau video mereka tuh juga ditonton anak-anak. Memang nggak semuanya sih, tapi sebagian besar.
Terutama di channel-channel yang memang khusus isinya video main game. Umpatan kasar yang muncul dari mulut youtubers bisa ditiru oleh penontonnya. Muncullah anak-anak yang baru seumur kelas 3-4 SD piawai misuh-misuh, bahkan bisa jadi melebihi orang dewasa yang teler.
Kalau bagi orang dewasa, tentulah hal ini bukan sebuah masalah besar. Kinerja otak orang dewasa sudah sanggup menyeleksi baik, dan mengeliminasi sesuatu yang dianggap buruk. Lah kalau anak-anak gimana? Bibit bagi generasi baru loh ini. Membiarkan mereka mengikuti youtubers, justru boleh jadi kita telah berperan menciptakan generasi baru yang piawai berkata kasar, bahkan sejak dalam pikiran.
Andil orang tua juga perlu, untuk mengawasi anak ketika nonton video di YouTube. Malahan orang tua inilah garda pertama untuk mencegah hal-hal meringkus pikiran-pikiran polos anak-anak. Atau kalau lebih enaknya lagi, biarin aja mereka nggak nonton YouTube. Dulu pas saya kecil juga nggak nontonin Erphan, kok.
Comments