Tepat saat menulis ini, saya baru saja menyelesaikan ritual memantau pertumbuhan rambut saya di cermin sambil merapikan sedikit rambut gondrong nanggung ini. Ya, tepat saat pandemi baru merebak di Indonesia, hampir semua orang merasakan kecemasan yang sama, paranoid untuk datang ke tempat umum, salah satunya tukang cukur. Berbulan-bulan pandemi berjalan, beberapa orang akhirnya memutuskan untuk mencukur rambut dengan kehidupan new normal. Atau sisanya tetap melanjutkan kontrak dengan diri sendiri untuk menggondrongkan rambut yang kadung panjang, saya salah satunya.

Niat menggondrongkan rambut sebenarnya bukan hal yang baru bagi saya. Tapi entah kenapa, dari sekian percobaan selalu tidak menemui kesepakatan antara niat di awal dengan hal-hal lain ketika berproses menggondrongkan rambut. Belajar dari kegagalan itu, akhirnya menebalkan niat saya untuk menebalkan rambut saya kembali, walaupun sampai hari ini sejujurnya keinginan tersebut tengah terombang-ambing di masa-masa kritis gondrong yang nanggung.

Sejujurnya menggondrongkan rambut itu tidak semudah berhutang segelas es teh ke warung makan langganan. Saya paham betul bagaimana kegagalan-kegagalan beberapa kali niatan tersebut, bahkan di saat sekarang di mana kegondrongan saya sudah membuat rekornya sendiri. Dan selalu dan hampir gagal lagi oleh alasan-alasan berikut ini:

1. Tak direstui orang terdekat

Untuk hal ini, orang tua adalah pihak yang sewot dan sensitif mengenai rambut yang mulai nampak menebal. Bagi kebanyakan orang tua, rambut gondrong jauh dari kesan rapi, lekat dengan premanisme, dll, lantas bertanya pada anaknya “Cepat cukur sana, mau jadi apa kamu?” menyebalkan. Saya sendiri bahkan pernah merasakan teror dan ancaman tidak diberi anggaran jajan jika tak mencukur rambut. Ya, sampai akhirnya saya meyakinkan kembali bahwa pilihan menggondrongkan rambut ini bukan bermaksud menjadi anak yang durhaka, bukan, wong cuma gondrong saja, kok.

Teman saya punya cerita lain, meski jauh dari orang tua yang bekerja, tetap saja rintangan itu muncul bahkan dari sang pacar. Konon, rambutnya diam-diam digunting secara acak. Sampai ia menyadari, dan ketimbang rambutnya makin aneh, ia memutuskan untuk tak melanjutkan proses pengondrongan tersebut. Sebuah rintangan awal, namun orang sering gagal di fase ini.

2. Komentar sinis orang

Selain restu, beberapa orang yang terbiasa melihat kita tampil rapi dengan rambut pendek, secara spontan mengomentari niatan menggondrongkan rambut tersebut, “Kayaknya kamu nggak cocok deh, mending cukur aja”. Sering? Banget. Lebih kejam, ketika panjang nanggung, saya pernah dikomentari kalau rambut saya malah kayak “sarang tawon”, lantas dibarengi dengan gelak tawa. Komentar-komentar tersebut yang sering pula melunturkan niatan untuk tampil garang ala Virzha Idol.

3. Ribet

Semakin panjang rambut, semakin ribet pula perawatannya, lebih lagi model rambut tipis yang susah diatur seperti saya. Rontok, patah, kotor, butuh waktu lama untuk mengeringkan rambut selepas mandi. Hash. Proses yang saya pikir akan memangkas ongkos pangkas rambut, pun kini kadang terpaksa saya harus membeli vitamin, masker rambut dll, agar rambut tumbuh sehat dan mashok secara estetis. Tidak semua orang, tapi saya yakin sebagian besar pria menghadapi masalah ini, bahkan sebagian yang memutus kontrak dengan niatan berambut gondrong, justru sering timbul dari hal ini.

4. Tidak sabar

Yakinlah, menggondrongkan rambut itu tidak secepat perjalanan MU di Liga Champions. Butuh waktu berbulan-bulan, hingga tahunan. Pun berbagai shampo yang katanya mempercepat pertumbuhan rambut tersebut tak sepenuhnya manjur. Belum  lagi tergiur dengan foto-foto bermacam model rambut keren dan sedang happening di Instagram. Fase-fase ini muncul ketika rambut gondrong tapi nanggung, soalnya rambut semacam ini selain krisis identitas antara gondrong tapi pendek, pendek tapi gondrong. Juga belum menampakan kepantasannya. Yok, bisa, yok!

5. Ketidakyakinan diri sendiri

Komentar sinis, keribetan yang menimbulkan ketidaknyamanan, menimbulkan segudang pertanyaan. “Jangan-jangan benar apa yang dibilang orang lain? Apakah aku terus-terusan melakukan rutinitas ribet ini?” Sebuah fase yang berat dimana pergolakan itu muncul dari benak sendiri. Seolah berharap, niatan itu tak layu dan akan terus tumbuh bersama helai-helai rambutnya. 

6. Tuntutan

Sayang, tak semua perusahaan atau institusi welcome terhadap pria berambut gondrong, bahkan mengidentikan berpenampilan rapi sebagai kualifikasinya adalah dengan berambut cepak. Pilihannya pun semakin mengerucut, tetap gondrong tapi harus pergi, atau bertahan tapi tak boleh gondrong. Untuk kasus ini, gondrong seperti gambaran manusia dan idealisme, kita memang bebas memilih, tapi kadang mengorbankan satu diantara hal yang sama pentingnya.

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: Dream.co.id