Saya yakin setiap orang nggak ingin hidup susah. Bisa diartikan sukses menurut standar masing-masing. Saya bilang seperti ini karena definisi sukses tiap orang berbeda. Ada yang punya rumah dan mobil baru bisa dikatakan sukses, atau bisa keturutan pergi jalan-jalan ke luar negeri dengan rekening yang tebal pun masih belum merasa cukup sukses. Garis besarnya, sukses adalah ketika dia berhasil meraih apa yang dia mau di hidupnya. Udah, gitu aja. Nggak usah kebanyakan teori. 

Tapi nih tapi, masih ada oknum yang suka menyamaratakan standar sukses orang berdasarkan ukurannya sendiri. Bolehlah mereka menilai orang sesuai kriterianya. Sah-sah saja. Yang menjadikan wagu adalah ketika mereka memaksakan standar suksesnya itu untuk orang lain. Lah gimana ceritanya? Orang saja kalau dipaksakan memakai sepatu yang nggak sesuai ukurannya, kaki bisa sakit dan lecet. Pun, kalau kebesaran juga kesusahan buat jalan. Lah ini standar sukses yang mana pedomannya beda-beda malah dipaksakan. 

Sebelumnya saya minta maaf, tapi oknum yang saya maksud adalah emak-emak. Iyaa, ibu-ibu yang hobi ngerumpi dan julidin anak tetangga. Bisa jadi juga anaknya sendiri. Emak-emak ini nggak nanggung-nanggung ketika pasang standar sukses. Nggak kenal gender, walaupun seringnya lebih berat di perempuan. 

Standar Sukses Emak-Emak 1: Kerja Kerja Kerja!

Standar keberhasilan yang paling cepat dinilai emak-emak adalah kerja. Pokoknya kalau sudah lulus sekolah dan nggak lekas kerja, wah alarm emak-emak langsung nyala. Bagi mereka, mau sekolah sampai jenjang apa pun bakal percuma kalau nggak kerja. Jadi, nggak sekolah pun sebenarnya nggak papa asalkan bisa ngehasilin duit banyak. Pokoknya: kerja kerja kerja! (rezim siapa tuh?!) 

Sialnya, masalah kerja ini menjadi berbuntut ketika perempuan bekerja tapi nggak sesuai ekspektasi mereka. Jika perempuan kerja sampai larut, berinteraksi dengan banyak kawan laki-laki dan melakukan pekerjaan yang dinilai “kerja lelaki”, emak-emak masih akan tetap berkomentar. Loh ya mereka ini maunya apa, adaaa aja yang dijulidin. Mau kerja apa pun, asalkan nggak melanggar hukum yang berlaku ya nggak masalah tho. 

Standar Sukses Emak-Emak 2: Pokoknya Menikah Aja Dulu

Pada tingkat selanjutnya, standar keberhasilan hidup dalam perspektif emak-emak adalah menikah. Baik laki-laki maupun perempuan, nggak etis rasanya jika mereka nggak nikah. Berbagai cara dilakukan emak-emak untuk merongrong anak sendiri maupun anak tetangga atau saudaranya. Mulai dari mengingatkan umur, mencarikan jodoh dan pamer keberhasilan pernikahan anak lain. PokokTiga Standar Sukses Ala Emak-Emak yang Paling Menyebalkan

nya niat bener mereka kalau diminta (padahal lebih seringnya inisiatif sendiri) turut membantu mewujudkan standar sukses yang satu ini.

Bagi emak-emak, terserah kamu mau menikah sama siapa pun pokoknya nikah aja dulu. Nggak penting juga kalau pasangan yang menikah itu belum mapan, baik secara finansial maupun mental. Katanya, kalau niat nanti pasti ada rezekinya. Lah iya itu masalah materi bisa dikejar atau nodong orang tua (biasanya terjadi dalam kasus tertentu), tapi soal kesiapan mental kan lain cerita. Nanti giliran ketemu suami abusif aja, pihak perempuan disalahkan karena kurang cakap melayani laki-lakinya. Hhhhhh! 

Standar Sukses Emak-Emak 3: Kok Belum Ada Momongan?

Kehidupan pun terus berjalan, dan kita mau nggak mau akan dihadapkan pada standar sukses yang paling paripurna bagi emak-emak. Apalagi kalau bukan punya anak. Belum lengkap rasanya jika kehidupan pernikahan nggak direcoki tangisan bayi. Nggak afdol pula jika pasangan suami istri hanya hidup berdua selamanya. Alhasil, pertanyaan “sudah ngisi belum?” akan terus dilontarkan. 

Lagi-lagi nih, perempuan seakan menjadi pihak yang paling disalahkan dalam sukses tidaknya hal ini. Dibilang terlalu sibuk bekerja lah, ataupun kurang menjaga diri sendiri hingga penanaman benih selalu gagal. Padahal kan setiap pasangan punya rencana sendiri. Pun jika nyatanya mereka memiliki masalah kesehatan reproduksi, justru sangat nggak etis kalau kita sebagai orang luar turut mencampuri. 

Hidup bertetangga harusnya lebih merujuk pada kedamaian bukan kejulidan. Nggak ada tuh hidup damai yang dibangun dari kejulidan demi kejulidan. Jadi, dibanding terus-terusan sibuk menilai kesuksesan hidup orang lain, mending rajin bercermin aja dan banyakin istighfar untuk kekhilafan yang sering dilakukan. Oke, mak? 

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: Lifestyle Okezone